Dalam Acara Pelantikan DPD PPMI Tanta

Pelantikan Dewan Pengurus Daerah Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia di Tanta, Mesir.

Ma'radh Cafe

Meeting Manajemen Haita CafRest.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Gallery Burgal Van Jogja

Haita CafeRestoran bersama Burgal Van Jogja.

Cafe Istad

Cafe Istad Tanta with Friends.

Genta Suara Revolusi

KITA ini satu bangsa tempe, ataukah satu bangsa banteng?

Kalau kita satu bangsa yang berjuang, kalau kita satu fighting nation, kalau kita satu bangsa banteng, dan bukan satu bangsa tempe, — marilah kita berani nyrempet-nyrempet bahaya, berani ber-vivere Pericoloso! Asal jangan kita vivere Pericoloso kepada Tuhan! Hiduplah ber-vivere Pericoloso di atas jalan yang dikehendaki oleh Tuhan dan diridhai oleh Tuhan.

Kalau kita ini umpamanya mau menjadi satu bangsa satelit, satu bangsa bebek atas negara bebek yang selalu wekwekwek membebek saja, barangkali kita tidak mempunyai musuh.

Tetapi, kita tidak mau menjadi satu bangsa satelit, tidak mau menjadi satu bangsa bebek, tidak mau menjadi satu bangsa kambing. Kita mau menjadi satu bangsa besar yang bebas-merdeka, berdaulat penuh, bermasyarakat adil dan makmur, satu bangsa besar yang hanyakrawarti hambaudhendha, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja, otot kawat balung wesi, ora tedhas tapak paluning pandhe, ora tedhas sisane gurenda!

Sukarno, Genta Suara Revolusi Indonesia (Gesuri). Pidato kenegaraan 17 Agustus 1963.

Lelaki Setengah Abad


Lelaki itu menangis. Tangisannya menceritakan duka. Tangis kerinduan. Tangis kemarahan. Tangis penyesalan. Tangis-tangis itu bergumul, meloncat-loncat, menendang-nendang, dan selalu menghujatnya dalam malam-malam yang tak mampu ia lalui tanpanya. Ia tak pernah bisa menghapus duka itu. Entah sampai kapan duka-duka itu pergi. Entah. Entah sampai kapan akan hadir air kesejukan yang mampu meredam semua itu. Semua tangisan-tangisan itu. Semua duka itu. Semua kerinduan itu. Semua penyesalan itu. Dan semua kemarahan itu.

Malam itu bermandikan cahaya rembulan. Hanya saja, ya, hanya saja rembulan itu tak mampu, atau memang ditakdirkan takkan pernah mampu, menghapus lara lelaki setengah abad itu. Ia membuka lemari tua. Ia mengambil kain panjang. Ia menciuminya. Ia hirup sedalam-dalamnya seakan ingin memasukkan semua aromanya ke dalam batinnya yang tak bisa lagi melupakannya. “Istriku, aroma tubuhmu masih seperti dulu,” bisiknya pada angin malam yang menerobos perlahan melalui celah-celah jendela dari kayu itu. Ia menenggelamkan wajah keriputnya dalam kain itu. Lama selama-lamanya.

“Seandainya dulu aku bisa memilih, aku mati bersamamu saja, Bu. Atau kita hidup bersama. Tidak seperti ini. Atau tidak sebaliknya karena sama-sama menghadirkan duka.” Ia hempaskan tubuh tuanya pada tikar pandan. Tatapannya kosong. Matanya masih berurai air mata. “Kematianmu sungguh mengenaskan, Bu.” Bibirnya gemetar seakan tak sanggup merangkai kalimat untuk mengenang kematian istrinya. “Aku tak tahu atas nama apa kematianmu itu, Bu.” Ia terus hanyut. Ia tenggelam dalam pusara malam yang terus bergelayut.

Ia tak sanggup memutar memori ingatan masa kelam legam itu. Ia melotot sekuat tenaga untuk mencegah hadirnya cerita kebejatan terhadap istrinya itu. Tapi seperti yang sudah-sudah, ingatan itu selalu hadir menyeruak. Menenggelamkannya sampai ia megap-megap. “Sebelum perang itu merenggutmu, kau bilang semua keadaan akan baik-baik saja. ‘Tak usah terlalu dipikirkan, Sayang. Ini hanya bentrok kecil saja,’ ucapmu sambil tersenyum. Sambil mengusap perutmu yang membuncit. Panggilan sayangmu itu selalu menghadirkan ketenangan dalam batinku.”

Lelaki setengah abad itu tersenyum. Kecut. Matanya masih berurai air mata. Ia ingat akan penjarah menjarah. Darah bersimbah. Rumah dibakar berkobar. Dan kebencian tanpa alasan terus melahap manusia-manusia tak berdosa. Ia hanya bisa terkapar menggelepar-gelepar dalam rangkaian duka nestapa berkepanjangan.

“Tapi aku tak mempercayaimu, Bu. Bagaimana aku percaya, Bu, sedangkan di luar rumah kita sudah banyak pembakaran rumah. Pembunuhan terus berlangsung. Senyum sinisku terbaca olehmu, ‘jangan memusingkan diri dengan ketakutan-ketakutan, Yang,’ ucapmu sambil menatapku dengan tatapan genit. Dan kau terus menyibukkan diri di dapur.”

Lelaki setengah abad itu kembali membuka lemari. Ia menimang-nimang baju kecil. Ia ciumi baju yang belum sempat dipakaikan pada anaknya itu.

“Kita sudah persiapkan penyambutan untuk anak pertama kita, Bu. Ibu yakin anak kita perempuan. Ibu membeli baju-baju anak perempuan. Nama pun dipersiapkan, ‘Maryam, Yang, namanya. Biar dia nanti jadi perempuan kuat. Tak cengeng,’ ungkapmu penuh semangat. Dan aku tersenyum iri. Melihat tingkahmu itu aku tak mau kalah, Bu. Aku juga mempersiapkan nama laki-laki untuk anak kita. Karena aku yakin anak kita laki-laki. Tapi, ibu tak pernah tahu semua itu karena aku menyiapkannya secara sembunyi-sembunyi. Karena aku pikir ibu lebih berhak memilihkan apa saja untuk anak kita. Nama yang kupersiapkan Isa, Bu. Aku pun punya alasan kuat sepertimu: biar mampu menebarkan kasih sayang.”

Lelaki setengah abad itu memeluk baju anaknya. Ia membungkus diri dalam kain istrinya.

“Maafkan aku, Bu, telah meninggalkanmu ke pasar waktu itu.” Ia menggigil seperti orang kedinginan. Padahal malam itu tak begitu dingin. Angin hanya semilir perlahan berhembus mengelus kain pembungkusnya.

“Aku berangkat dulu, Cinta. ’Ke pasarnya jangan lama-lama ya, Yang,’ pesanmu waktu itu. Saat kutoleh kau begitu cantik hari itu. Aura keibuanmu sempat menahan langkahku. Kau tersenyum nakal dan masuk ke dalam meninggalkanku yang sedang silau menyaksikan kecantikanmu. Ternyata hari itu adalah hari terakhirku melihatmu. Perut besarmu terus membayangiku ke pasar. Ada gundah gelisah sebenarnya. Tapi, ketenanganmu membuatku mampu menabahkan diri.

“Di tengah jalan kudengar kabar perang antar suku itu terus mengamuk tanpa ampun. Mereka membunuh sekenanya. Sudah tak pandang bulu lagi. Anak-anak mereka potong lehernya. Perempuan hamil mereka keluarkan anaknya. Sang ibu ditebas lehernya. Mereka sama-sama tak punya perasaan. Mereka hanya bisa berlomba membunuh sebanyak-banyaknya. Mereka ingin memperlihatkan kekuatan suku mereka masing-masing. Mereka lupa kalau sedang diadu domba oleh orang-orang yang merasa berhak untuk memimpin.

“Mendengar kabar itu kumatikan motorku, Bu. Aku tak mau hal itu menimpamu. Saat aku hanyut dalam bimbang, ada teriakan. ‘Lari! Lari! Semua rumah sudah dibakar.’ Kulihat Pak Rizqi sibuk membawa kedua anak dan istrinya. Ia tak membawa harta bendanya. Padahal ia punya banyak sapi. Ia pengusaha sukses. Ada Pak Budi yang rumahnya di depan rumah kita. Ada Ibu Sarmi masih sempet menjunjung jualan gado-gadonya. Aku tak sempat menanyakan keadaanmu pada Pak Budi, Bu. Aku langsung putar haluan menerobos orang-orang yang sedang berlarian ke sana kemari. Mereka mencari selamat sendiri-sendiri, Bu. Mereka terlalu dicekam ketakutan. Termasuk aku, Bu.”

Tangisan lelaki setengah abad itu makin menjadi. Ia meraung-raung dalam balutan kain panjang istrinya. Ia mengintip. Tangannya menggenggam baju anaknya. Matanya menyiratkan ketakutan. Matanya menyeramkan. Mata itu seakan tak memiliki bulatan hitam. Dan mata itu seperti sumber mata air.

“Setelah aku sampai di depan perumahan kita, aku bingung, Bu. Aku seperti lupa karena bangunan-bangunan itu telah rata dengan tanah. Semua sudah bersih dijilat api. Tapi, kulihat pohon itu. Iya, Bu, pohon itu tidak terbakar karena agak jauh dari rumah kita. Dan disitulah aku menemukanmu, Bu. Kuturunkan engkau dengan hati-hati. Lehermu membiru bekas lilitan kain panjangmu. Dan di tanganmu kutemukan baju anak kita. Hanya itu, Bu, hanya itu yang sempet kubawa. Dan sepeda motorku. Semuanya tak berbekas.

“Aku menungguimu sampai sore. Kupandangi terus wajahmu. Kau tersenyum, Bu, seakan kau bahagia mati seperti itu. Tak ada dendam tersirat di wajahmu. Aku terus menungguimu, Bu. Aku berharap mereka datang lagi dan menggantungku sepertimu. Biar aku juga merasakan apa yang kau rasakan, Bu. Tapi, malang. Sungguh malang nasibku, Bu. Aku tak dibiarkan menemuimu dan menemanimu. Mereka tak datang lagi sampai petang.”

“Mereka tak tahu diri.” Lelaki setengah abad itu meloncat dari balutan kain panjang. Ia mendekati jendela. Ia acungkan tangannya ke atas sambil memegang baju anaknya. “Sekarang provokator itu kembali lagi setelah aman bersembunyi di luar negeri. Cuih! Dasar tak punya malu. Oh Tuhan…” ia menunduk lemas. Ia genggam erat-erat baju anaknya.

“Iya, Bu, provokator itu sekarng datang lagi. Tak tahu apa yang akan ia ambil lagi setelah ia meminum darah manusia-manusia tak berdosa.” Wajahnya menyemburatkan kemarahan. Wajahnya merah padam. Matanya kembali menyala-nyala penuh cahaya kebencian.

“Namanya si Has, Bu. Dia yang mengobarkan kebencian antar suku. Benar katamu masalahnya hanya kecil. Tapi, dia itu orangnya yang telah membuat masalah menjadi besar. Dia menghasud pemuda-pemuda pengangguran untuk mericuh keadaan. Pemuda-pemuda itu hanya dibayar seharga minuman keras. Dan orang-orang awam itu mudah sekali terpancing. Ketua-ketua suku tak bisa mengontrol masyarakatnya. Atau ketua-ketua suku itu juga mendapat upah dari tragedi antar suku itu, Bu?”

Ia menatap langit. Seakan ingin menceritakan fakta yang tak sempat dilirik dan dicatat oleh penghuni langit.

“Kamu juga gak tahu, kan, Bu, kalau orang-orang suku memakai senjata api sewaktu perang itu? Dari mana senjata api itu mereka peroleh, Bu? Pasti ada yang menjualnya, kan? Apakah pihak keamanan hanya mencari muka saja dengan pura-pura mengamankan? Padahal mereka yang menjual senjata itu? Atau si Has itu bekerja sama dengan pihak asing, ya, Bu?”

Giginya bergeretak. Tangannya menyobek baju anaknya.

“Jelas, Bu! Jelas sudah. Si Has itu memang bekerja sama dengan pihak asing. Kalau tidak, bagaimana mungkin ia mendapat tempat tinggal di sana. Atau karena polisi tidak mengejarnya? Kenapa polisi tidak mengejarnya? Apakah polisi sudah dibayar dulu oleh si Has itu?”

Ia seperti bercengkerama dengan langit kelam legam.
***

Lelaki setengah abad itu melangkahkan kakinya menuju pasar. Mentari pagi menyorot wajah tuanya. Garis-garis keriput di wajahnya semakin jelas terbaca. Sesampainya di pasar ia mengambil koran. Matanya terbelalak saat membaca headline koran itu. Bulatan hitamnya seakan lenyap memasuki kelopaknya. Tangannya meremas-remas tanpa kontrol. “Dasar penjahat. Sekarang dia akan menjadi gubernur, Bu.”

Cerpen M. Khozin

Sang Demonstran

Soe Hok Gie dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942, adik dari sosiolog Arief Budiman. Nama Soe Hok Gie adalah dialek Hokkian dari namanya Su Fu-yi dalam bahasa Mandarin. Catatan harian Gie sejak 4 Maret 1957 sampai dengan 8 Desember 1969 dibukukan tahun 1983 oleh LP3ES ke dalam sebuah buku yang berjudul Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran setebal 494 halaman. Gie meninggal di Gunung Semeru sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27, 16 Desember 1969 akibat gas beracun.

Setelah lulus dari SMA Kanisius Gie melanjutkan kuliah ke Universitas Indonesia tahun 1961. Di masa kuliah inilah Gie menjadi aktivis kemahasiswaan. Banyak yang meyakini gerakan Gie berpengaruh besar terhadap tumbangnya Soekarno dan termasuk orang pertama yang mengritik tajam rezim Orde Baru.

Gie sangat kecewa dengan sikap teman-teman seangkatannya yang di era demonstrasi tahun 66 mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah kemudian selepas mereka lulus berpihak ke sana dan lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66. Gie memang bersikap oposisif dan sulit untuk diajak kompromi dengan oposisinya.

Selain itu juga Gie ikut mendirikan Mapala UI. Salah satu kegiatan pentingnya adalah naik gunung. Pada saat memimpin pendakian gunung Slamet 3.442m, ia mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya, “Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”.

Soe Hok Gie di pilar triangulasi puncak Pangrango, 1967

Pemikiran dan sepak terjangnya tercatat dalam catatan hariannya. Pikiran-pikirannya tentang kemanusiaan, tentang hidup, cinta dan juga kematian. Tahun 1968 Gie sempat berkunjung ke Amerika dan Australia, dan piringan hitam favoritnya Joan Baez disita di bandara Sydney karena dianggap anti-war dan komunis. Tahun 1969 Gie lulus dan meneruskan menjadi dosen di almamaternya.

Bersama Mapala UI Gie berencana menaklukkan Gunung Semeru yang tingginya 3.676m. Sewaktu Mapala mencari pendanaan, banyak yang bertanya kenapa naik gunung dan Gie berkata kepada teman-temannya:

“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”

8 Desember sebelum Gie berangkat sempat menuliskan catatannya: “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.” Selanjutnya catatan selama ke Gunung Semeru lenyap bersamaan dengan meninggalnya Gie di puncak gunung tersebut.

24 Desember 1969 Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Tahun 1975 Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober sehingga harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango.

Makam Soe Hok Gie di Tanah Abang

Beberapa quote yang diambil dari catatan hariannya Gie:

“Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”

“Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”

“Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan…”

Selain Catatan Seorang Demonstran, buku lain yang ditulis Soe Hok Gie adalah Zaman Peralihan, Di Bawah Lentera Merah dan Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan serta riset ilmiah DR. John Maxwell Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani.

Tahun depan Mira Lesmana dan Riri Reza bersama Miles Production akan meluncurkan film berjudul “Gie” yang akan diperankan oleh Nicholas Saputra, Sita Nursanti, Wulan Guritno, Lukman Sardi dan Thomas Nawilis. Saat ini sudah memasuki tahap pasca produksi.

Catatan Seorang Demonstran

John Maxwell berkomentar, “Gie hanya seorang mahasiswa dengan latar belakang yang tidak terlalu hebat. Tapi dia punya kemauan melibatkan diri dalam pergerakan. Dia selalu ingin tahu apa yang terjadi dengan bangsanya. Walaupun meninggal dalam usia muda, dia meninggalkan banyak tulisan. Di antaranya berupa catatan harian dan artikel yang dipublikasikan di koran-koran nasional” ujarnya. “Saya diwawancarai Mira Lesmana (produser Gie) dan Riri Reza (sutradara). Dia datang setelah membaca buku saya. Saya berharap film itu akan sukses. Sebab, jika itu terjadi, orang akan lebih mengenal Soe Hok Gie” tuturnya.

Puisi-Puisi Chairil Anwar

MALAM

Mulai kelam
belum buntu malam
kami masih berjaga
Thermopylae?
jagal tidak dikenal?
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang

Zaman Baru, No. 11-12, 20-30 Agustus 1957


PRAJURIT JAGA MALAM

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu!

Siasat, Th III, No. 96, 1949


KRAWANG-BEKASI

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

Brawidjaja, Jilid 7, No 16, 1957


DIPONEGORO

Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti
Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu Negeri
Menyediakan api.

Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai

Maju
Serbu
Serang
Terjang

Budaya, Th III, No. 8, Agustus 1954


PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO

Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut

Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak&berlabuh

Liberty, Jilid 7, No 297, 1954


AKU

Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Maret 1943


PENERIMAAN

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati

Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi

Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.

Maret 1943


HAMPA

Kepada Sri

Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.

Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.


DOA

Kepada pemeluk teguh

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu

Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku

aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling

13 November 1943


SAJAK PUTIH

Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah


SENJA DI PELABUHAN KECIL
Buat: Sri Ajati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap

1946


CINTAKU JAUH DI PULAU

Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak 'kan sampai padanya.

Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja,"

Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,
kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri

1946


MALAM DI PEGUNUNGAN

Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!

1947


YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS

kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu

di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin

aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang

tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku

1949


DERAI DERAI CEMARA

cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam

aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini

hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

1949