Dalam Acara Pelantikan DPD PPMI Tanta

Pelantikan Dewan Pengurus Daerah Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia di Tanta, Mesir.

Ma'radh Cafe

Meeting Manajemen Haita CafRest.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Gallery Burgal Van Jogja

Haita CafeRestoran bersama Burgal Van Jogja.

Cafe Istad

Cafe Istad Tanta with Friends.

Sang Demonstran

Soe Hok Gie dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942, adik dari sosiolog Arief Budiman. Nama Soe Hok Gie adalah dialek Hokkian dari namanya Su Fu-yi dalam bahasa Mandarin. Catatan harian Gie sejak 4 Maret 1957 sampai dengan 8 Desember 1969 dibukukan tahun 1983 oleh LP3ES ke dalam sebuah buku yang berjudul Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran setebal 494 halaman. Gie meninggal di Gunung Semeru sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27, 16 Desember 1969 akibat gas beracun.

Setelah lulus dari SMA Kanisius Gie melanjutkan kuliah ke Universitas Indonesia tahun 1961. Di masa kuliah inilah Gie menjadi aktivis kemahasiswaan. Banyak yang meyakini gerakan Gie berpengaruh besar terhadap tumbangnya Soekarno dan termasuk orang pertama yang mengritik tajam rezim Orde Baru.

Gie sangat kecewa dengan sikap teman-teman seangkatannya yang di era demonstrasi tahun 66 mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah kemudian selepas mereka lulus berpihak ke sana dan lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66. Gie memang bersikap oposisif dan sulit untuk diajak kompromi dengan oposisinya.

Selain itu juga Gie ikut mendirikan Mapala UI. Salah satu kegiatan pentingnya adalah naik gunung. Pada saat memimpin pendakian gunung Slamet 3.442m, ia mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya, “Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”.

Soe Hok Gie di pilar triangulasi puncak Pangrango, 1967

Pemikiran dan sepak terjangnya tercatat dalam catatan hariannya. Pikiran-pikirannya tentang kemanusiaan, tentang hidup, cinta dan juga kematian. Tahun 1968 Gie sempat berkunjung ke Amerika dan Australia, dan piringan hitam favoritnya Joan Baez disita di bandara Sydney karena dianggap anti-war dan komunis. Tahun 1969 Gie lulus dan meneruskan menjadi dosen di almamaternya.

Bersama Mapala UI Gie berencana menaklukkan Gunung Semeru yang tingginya 3.676m. Sewaktu Mapala mencari pendanaan, banyak yang bertanya kenapa naik gunung dan Gie berkata kepada teman-temannya:

“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”

8 Desember sebelum Gie berangkat sempat menuliskan catatannya: “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.” Selanjutnya catatan selama ke Gunung Semeru lenyap bersamaan dengan meninggalnya Gie di puncak gunung tersebut.

24 Desember 1969 Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Tahun 1975 Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober sehingga harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango.

Makam Soe Hok Gie di Tanah Abang

Beberapa quote yang diambil dari catatan hariannya Gie:

“Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”

“Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”

“Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan…”

Selain Catatan Seorang Demonstran, buku lain yang ditulis Soe Hok Gie adalah Zaman Peralihan, Di Bawah Lentera Merah dan Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan serta riset ilmiah DR. John Maxwell Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani.

Tahun depan Mira Lesmana dan Riri Reza bersama Miles Production akan meluncurkan film berjudul “Gie” yang akan diperankan oleh Nicholas Saputra, Sita Nursanti, Wulan Guritno, Lukman Sardi dan Thomas Nawilis. Saat ini sudah memasuki tahap pasca produksi.

Catatan Seorang Demonstran

John Maxwell berkomentar, “Gie hanya seorang mahasiswa dengan latar belakang yang tidak terlalu hebat. Tapi dia punya kemauan melibatkan diri dalam pergerakan. Dia selalu ingin tahu apa yang terjadi dengan bangsanya. Walaupun meninggal dalam usia muda, dia meninggalkan banyak tulisan. Di antaranya berupa catatan harian dan artikel yang dipublikasikan di koran-koran nasional” ujarnya. “Saya diwawancarai Mira Lesmana (produser Gie) dan Riri Reza (sutradara). Dia datang setelah membaca buku saya. Saya berharap film itu akan sukses. Sebab, jika itu terjadi, orang akan lebih mengenal Soe Hok Gie” tuturnya.

Puisi-Puisi Chairil Anwar

MALAM

Mulai kelam
belum buntu malam
kami masih berjaga
Thermopylae?
jagal tidak dikenal?
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang

Zaman Baru, No. 11-12, 20-30 Agustus 1957


PRAJURIT JAGA MALAM

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu!

Siasat, Th III, No. 96, 1949


KRAWANG-BEKASI

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

Brawidjaja, Jilid 7, No 16, 1957


DIPONEGORO

Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti
Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu Negeri
Menyediakan api.

Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai

Maju
Serbu
Serang
Terjang

Budaya, Th III, No. 8, Agustus 1954


PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO

Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut

Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak&berlabuh

Liberty, Jilid 7, No 297, 1954


AKU

Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Maret 1943


PENERIMAAN

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati

Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi

Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.

Maret 1943


HAMPA

Kepada Sri

Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.

Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.


DOA

Kepada pemeluk teguh

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu

Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku

aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling

13 November 1943


SAJAK PUTIH

Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah


SENJA DI PELABUHAN KECIL
Buat: Sri Ajati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap

1946


CINTAKU JAUH DI PULAU

Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak 'kan sampai padanya.

Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja,"

Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,
kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri

1946


MALAM DI PEGUNUNGAN

Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!

1947


YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS

kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu

di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin

aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang

tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku

1949


DERAI DERAI CEMARA

cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam

aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini

hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

1949

PDT-IAIN Surabaya Siap Dirikan Pesantren Gelandangan

Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) bekerja sama dengan IAIN Sunan Ampel Surabaya sedang menyiapkan pendirian pesantren anak jalanan atau pesantren gelandangan.

"Pesantren gelandangan itu sedang dimatangkan untuk diluncurkan pada tahun ini," kata Menteri Negara PDT Ahmad Helmy Faishal Zaini setelah menandatangani MoU di IAIN Surabaya, Sabtu.

Didampingi Rektor IAIN Surabaya Prof. Dr. H. Nur Syam. MSi, ia mengatakan pesantren anak jalanan itu penting karena masyarakat miskin dan pengangguran masih banyak, sehingga perlu keadilan pendidikan untuk mereka.

"Masyarakat miskin kita ada 32,5 juta atau 14 persen dari jumlah penduduk, kemudian pengangguran mencapai 8,9 juta dengan 60 persen pengangguran ada di Jawa," katanya.

Ia menilai peluncuran pesantren anak jalanan memang untuk masyarakat Jawa, tapi akan disusul dengan pesantren perbatasan untuk masyarakat luar Jawa yang akan diluncurkan pada tahun 2011.

Dalam kesempatan itu, Helmy Faishal juga setuju dengan Gerakan Mahasiswa Kembali ke Desa (Gemalisa) yang dicanangkan IAIN Sunan Ampel Surabaya. Menurut dia, tanpa adanya pendampingan masyarakat desa tertinggal oleh mahasiswa akan menyebabkan ketimpangan jumlah penduduk antara desa dengan kota.

"Tahun 1980-an, penduduk desa dengan kota masih berbanding 80 persen di desa dengan 20 persen di kota (80:20), tapi tahun 2009 sudah berbanding imbang 42 persen di desa dan 58 persen di kota (42:58)," katanya.

Dalam MoU itu, Menteri Negara PDT Helmy Faishal dan Rektor IAIN Prof Nur Syam menandatangani kerja sama pengembangan pesantren perbatasan, sarjana pendamping masyarakat daerah tertinggal dan pesantren gelandangan yang disebut "triple green program."

"Sarjana pendamping masyarakat tertinggal itu akan diterjunkan pada delapan kabupaten tertinggal di Jatim yang berpenduduk tujuh juta orang," kata Rektor IAIN Surabaya Prof Nur Syam.

Delapan kabupaten tertinggal di Jatim adalah Trenggalek, Madiun, Pacitan, Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Situbondo, dan Bondowoso.

"Sarjana IAIN yang berasal dari delapan kabupaten tertinggal itu akan kembali ke daerahnya untuk membangun daerahnya sesuai dengan unggulan yang ada, misalnya di Madura dengan pengembangan garam," katanya

Antara News

Penyair Legendaris Indonesia

Puisi-puisi "Si Binatang Jalang" Chairil Anwar telah menjadi inspirasi bagi perjuangan kemerdekaan bangsanya. Pria kelahiran Medan, 26 Juli 1922, ini seorang penyair legendaris Indonesia yang karya-karyanya hidup dalam batin (digemari) sepanjang zaman. Salah satu bukti keabadian karyanya, pada Jumat 8 Juni 2007, Chairil Anwar, yang meninggal di Jakarta, 28 April 1949, masih dianugerahi penghargaan Dewan Kesenian Bekasi (DKB) Award 2007 untuk kategori seniman sastra. Penghargaan itu diterima putrinya, Evawani Alissa Chairil Anwar.

Chairil memang penyair besar yang menginspirasi dan mengapresiasi upaya manusia meraih kemerdekaan, termasuk perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan. Hal ini, antara lain tercermin dari sajaknya bertajuk: "Krawang-Bekasi", yang disadurnya dari sajak "The Young Dead Soldiers", karya Archibald MacLeish (1948).

Dia juga menulis sajak "Persetujuan dengan Bung Karno", yang merefleksikan dukungannya pada Bung Karno untuk terus mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945.

Bahkan sajaknya yang berjudul "Aku" dan "Diponegoro" juga banyak diapresiasi orang sebagai sajak perjuangan. Kata Aku binatang jalang dalam sajak Aku, diapresiasi sebagai dorongan kata hati rakyat Indonesia untuk bebas merdeka.

Chairil Anwar yang dikenal sebagai "Si Binatang Jalang" (dalam karyanya berjudul Aku) adalah pelopor Angkatan '45 yang menciptakan trend baru pemakaian kata dalam berpuisi yang terkesan sangat lugas, solid dan kuat. Dia bersama Asrul Sani dan Rivai Apin memelopori puisi modern Indonesia. Chairil Anwar meninggal dalam usia muda karena penyakit TBC dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Hari meninggalnya diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.

Chairil menekuni pendidikan HIS dan MULO, walau pendidikan MULO-nya tidak tamat. Puisi-puisinya digemari hingga saat ini. Salah satu puisinya yang paling terkenal sering dideklamasikan berjudul Aku ( "Aku mau hidup Seribu Tahun lagi!"). Selain menulis puisi, ia juga menerjemahkan karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia. Dia juga pernah menjadi redaktur ruang budaya Siasat “Gelanggang” dan Gema Suasana. Dia juga mendirikan “Gelanggang Seniman Merdeka” (1946).

Kumpulan puisinya antara lain: Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (1949); Deru Campur Debu (1949); Tiga Menguak Takdir (1950 bersama Asrul Sani dan Rivai Apin); Aku Ini Binatang Jalang (1986); Koleksi sajak 1942-1949", diedit oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986); Derai-derai Cemara (1998). Buku kumpulan puisinya diterbitkan Gramedia berjudul Aku ini Binatang Jalang (1986).

Karya-karya terjemahannya adalah: Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948, Andre Gide); Kena Gempur (1951, John Steinbeck).

Sementara karya-karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman dan Spanyol adalah: "Sharp gravel, Indonesian poems", oleh Donna M. Dickinson (Berkeley, California, 1960); "Cuatro poemas indonesios, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati" (Madrid: Palma de Mallorca, 1962); Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York, New Directions, 1963); "Only Dust: Three Modern Indonesian Poets", oleh Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969);

The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Burton Raffel (Albany, State University of New York Press, 1970); The Complete Poems of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Liaw Yock Fang, dengan bantuan HB Jassin (Singapore: University Education Press, 1974); Feuer und Asche: sämtliche Gedichte, Indonesisch/Deutsch oleh Walter Karwath (Wina: Octopus Verlag, 1978); The Voice of the Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, oleh Burton Raffel (Athens, Ohio: Ohio University, Center for International Studies, 1993)

Sedangkan karya-karya tentang Chairil Anwar antara lain:
1) Chairil Anwar: memperingati hari 28 April 1949, diselenggarakan oleh Bagian Kesenian Djawatan Kebudajaan, Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan (Djakarta, 1953); 2) Boen S. Oemarjati, "Chairil Anwar: The Poet and his Language" (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1972); 3) Abdul Kadir Bakar, "Sekelumit pembicaraan tentang penyair Chairil Anwar" (Ujung Pandang: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu Sastra, Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin, 1974); 4) S.U.S. Nababan, "A Linguistic Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and Chairil Anwar" (New York, 1976); 5) Arief Budiman, "Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan" (Jakarta: Pustaka Jawa, 1976);

6) Robin Anne Ross, Some Prominent Themes in the Poetry of Chairil Anwar, Auckland, 1976; 7) H.B. Jassin, "Chairil Anwar, pelopor Angkatan '45, disertai kumpulan hasil tulisannya", (Jakarta: Gunung Agung, 1983); 8) Husain Junus, "Gaya bahasa Chairil Anwar" (Manado: Universitas Sam Ratulangi, 1984); 9) Rachmat Djoko Pradopo, "Bahasa puisi penyair utama sastra Indonesia modern" (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985); 10) Sjumandjaya, "Aku: berdasarkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar (Jakarta: Grafitipers, 1987); 11) Pamusuk Eneste, "Mengenal Chairil Anwar" (Jakarta: Obor, 1995); 12) Zaenal Hakim, "Edisi kritis puisi Chairil Anwar" (Jakarta: Dian Rakyat, 1996).

Tokoh Indonesia

Maestro Seni Lukis Realistik Indonesia

Barli Sasmitawinata adalah seorang maestro seni lukis realistik. Pria yang lahir di Bandung 18 Maret 1921 itu menjadi pelukis berawal atas permintaan kakak iparnya, tahun 1935, Sasmitawinata, agar Barli memulai belajar melukis di studio milik Jos Pluimentz, seorang pelukis asal Belgia yang tinggal di Bandung.

Barli lalu banyak belajar melukis alam benda dan dia adalah satu-satunya murid pribumi di studio tersebut. Di studio itu Barli banyak belajar mengenal persyaratan melukis.

Barli dilatih secara intensif melihat objek karena realistik masih sangat populer ketika itu. Pluimentz sang guru, pun selalu berkata, cara melihat seniman dan orang biasa harus berbeda. Orang biasa tidak mampu melihat aspek artistik sesuatu benda sebagaimana seniman.

Barli di kemudian hari belajar kepada Luigi Nobili, pelukis asal Italia. Di studio ini pula Barli mulai berkenalan dengan Affandi, yang waktu itu masih mencari uang dengan menjadi model bagi Luigi. Di studio milik Luigi Nobilo itu diam-diam Affandi ikut belajar melukis.

Bersama Affandi, Hendra Gunawan, Soedarso, dan Wahdi Sumanta, Barli Sasmitawinata membentuk “Kelompok Lima Bandung”. Kelompok itu dibentuk berawal dari kekaguman yang sangat dari seorang Barli dan ketiga temannya terhadap Affandi. Hubungan di antara kelima anggota kelompok akhirnya terbentuk menjadi seperti saudara saja. Kalau melukis kemana-mana selalu bersama-sama. Termasuk kesempatan perjalanan Barli hingga ke Bali.

Barli di tahun 1948 pernah mendirikan Sanggar Seni Rupa Jiwa Mukti. Lalu, sepulang dari Eropa, di tahun 1958 Barli kembali mendirikan studio Rangga Gempol. Sekarang Barli memiliki Bale Seni Barli di Padalarang. Barli menyebutkan sebuah cita-cita yakni ingin punya murid yang tidak saja pandai menggambar tetapi bisa hidup bersama dengan yang lain.

Barli adalah pelukis sekaligus guru. Sudah banyak mahasiswa yang dia ajar di Institut Teknologi Bandung (ITB) maupun murid yang dia bimbing di sanggar seni miliknya, tumbuh menjadi seniman mandiri. Beberapa di antara mantan mahasiswa dan murid itu terkadang ada yang mengabaikan Barli sebagai guru. Namun, yang membanggakan hati dia, tokoh semacam AD Pirous tetap mengakui Barli sebagai salah seorang guru.

Selain AD Pirous, ada pula beberapa muridnya yang kini dikenang sebagai pelukis yang berkarakter, seperti (almarhum) Huang Fong. Atau, Chusin Setiadikara yang tetap memelihara bekal seni realistiknya tetapi menempuh jalan sulit untuk membuatnya menjadi seni yang terus bisa bermakna di tengah percaturan berbagai gaya dan kecenderungan seni yang baru.

Perjalanan karir lukis Barli dimulai sejak tahun 1930-an sebagai ilustrator terkenal di Balai Pustaka, Jakarta. Dia juga dipakai sebagai ilustrator untuk beberapa koran yang terbit di Bandung. Keterampilan tersebut masih berlanjut di tahun 1950-an saat dia sudah melangglang buana ke mancanegara. Yakni, ketika Barli diangkat menjadi ilustrator pada majalah De Moderne Boekhandel di Amsterdam, dan majalah Der Lichtenbogen di Recklinghausen, Jerman. Barli adalah contoh pelukis dan guru yang mendapatkan pendidikan secara baik sejak usia remaja sampai kemudian dia berkesempatan belajar ke Perancis dan Belanda.

Kesempatan Barli studi sekaligus berkiprah di benua Eropa berawal di tahun 1950 tatklala dia mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Belanda untuk belajar di Academie Grande de la Chaumiere, Paris, Perancis. Barli masih meneruskan studi di Rijksacademie voor Beeldende Kunsten, Amsterdam, Belanda, sampai tahun 1956. Karena kiprah kepelukisannya yang sedemikian panjang, kritikus seni Jim Supangkat dalam bukunya “Titik Sambung” menempatkan Barli Sasmitawinata sebagai ’titik sambung’ dua gugus perkembangan seni lukis Indonesia: seni lukis masa kolonial dan seni lukis modern Indonesia.

Dijelaskan oleh Jim, di satu sisi Barli dapat dilihat sebagai meneruskan perkembangan seni lukis masa kolonial. Tetapi di sisi lain Barli merupakan bagian dari pertumbuhan seni lukis modern Indonesia yang menentang seni lukis masa kolonial itu sendiri.

Pemerintah RI tampak sangat peduli atas perjalanan karir maestro seni lukis realistik Indonesia ini. Bertepatan dengan hari lahirnya pada 18 Maret 2004 beberapa karya lukisnya dipamerkan di Galeri Nasional, Jakarta. Termasuk dipamerkan sebuah lukisan yang Barli selesaikan hanya beberapa hari sebelum ulang tahunnya ke-83, berukuran lebih dari dua meter kali dua meter. Pembukaan pameran dilakukan langsung oleh Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata, I Gede Ardika, berlangsung sejak 18 hingga 31 Maret 2004.

Bahkan, PT Pos Indonesia turut menunjukkan penghargaan yang sangat tinggi kepada seniman besar kelahiran Bandung itu. Pos Indonesia khusus menerbitkan prangko yang bergambar reproduksi lukisan Potret Diri, sebuah lukisan terkenal yang Barli buat di tahun 1974.

Bersamaan perayaan ulang tahun ke-83 itu diluncurkan pula sebuah buku karangan Nakisbandiah, istri kedua Barli setelah istri pertama meninggal dunia 11 Juli 1991, berjudul “Kehidupanku Bersama Barli”. Barli pertamakali menikahi (almarhumah) Atikah Basari di Pager Ageung tahun 1946 pada saat masih berada di dalam pengungsian karena perang.

Pernikahan pertama itu dikaruniai dua orang anak bernama Agung Wiwekakaputera dan Nirwati Chandra Dewi. Barli lalu kembali menikah saat usia sudah 71 tahun, kali itu dengan Nakisbandiah yang masih tetap setia mendampingi hidupnya. Hasil pernikahan Nakisbandiah sebelumnya dengan (almarhum) D Mawardi dikaruniai empat orang putri, yaitu Kartini, Sartika, Mia Meutia (meninggal tahun 1977), dan Indira. Maka, secara keseluruhan keluarga Barli memiliki 15 cucu dan enam orang buyut.

Barli berperan cukup besar menularkan ilmu kepada murid-muridnya. Entah di kampusnya mengajar ITB Bandung maupun di sanggar seninya. Barli adalah contoh pelukis dan guru yang mendapatkan pendidikan secara baik sejak usia remaja sampai kemudian belajar seni lukis ke Perancis hingga Belanda.

Di Eropa Barli memperoleh banyak prinsip-prinsip melukis anatomi secara intensif. Pelajaran anatomi, untuk pelukis sangat melihat otot-otot yang ada di luar bukan otot yang di dalam. Pernah, selama dua tahun di Eropa Barli setiap dua jam dalam sehari hanya menggambar nude (orang telanjang) saja, sesuatu yang tidak pernah dipersoalkan pantas atau tidak di sana sebab jika untuk kepentingan akademis hal itu dianggap biasa.

Barli menyebutkan, seseorang lulusan dari akademis menggambar orang seharusnya pasti bisa sebab penguasaan teknis akan merangsang inspirasi. Dia mencontohkan pengalaman saat belajar naik sepeda sulit sekali sebab salah sedikit saja pasti jatuh. Namun saat sudah menguasai teknis bersepeda sesorang bisa terus mengayuh sambil pikiran bisa kemana-mana. Melukis pun demikian, jika sudah mengetahui teknisnya maka adalah pikiran dan perasaan pelukis yang jalan.

Walau pelukis realistik Barli mengaku cukup mengerti abstrak sebab menurutnya seni memang abstrak. Seni adalah nilai. Setiap kali melihat karya yang realistik Barli justru tertarik pada segi-segi abstraksinya. Seperti segi-segi penempatan komposisi yang abstrak yang tidak bisa dijelaskan oleh pelukisnya sendiri.

Barli menyebutkan pula, pelukis yang menggambar realistik sesungguhnya sedang melukiskan meaning. Dicontohkannya lagi, kalau melihat seorang kakek maka dia akan tertarik pada umurnya, kemanusiaannya. Sehingga pastilah dia akan melukiskannya secara realistik sebab soal umur tidak bisa dilukiskan dengan abstrak. Menggambarkan penderitaan manusia lebih bisa dilukiskan dengan cara realistik daripada secara abstrak.

Pelukis Barli Sasmitawinata meninggal pada Kamis 8 Februari 2007 sekitar pukul 16.25 di Rumah Sakit Advent, Bandung pada usia 86 tahun. Jenazah disemayamkan di Museum Barli, Jl. Sutami , Kota Bandung.

Menurut Hendra (32), Guru Gambar di Bale Seni Barli, Barli dibawa ke RS Advent pada hari ini pukul 9.00 karena muntah-muntah. Ia meninggal pada pukul 16.25 dan dibawa ke rumah duka pukul 17.30. Banyak kerabat yang berdatangan untuk melayat. Dimakamkan pada Jumat (9/2/2007) di Taman Makam Pahlawan Cikutra.

Sebelumnya Barli dirawat di rumah sakit selama sebulan karena sakit usia lanjut. Baru Minggu (4/2/2007) Barli pulang kembali ke rumahnya. Selama di rumah, Barli sempat beramanat agar keluarga besar Bale Seni Barli memelihara lembaga pendidikan seni tersebut.

Barli juga sempat melukis. Sehari sebelum meninggal ia masih meneruskan lukisannya di kamar. Lukisan yang belum selesai itu masih belum diberi judul. Suami dari Alm Atikah Basari dan Ratu Nakisbandiah ini meninggalkan dua anak Agung Wiwekakaputera dan Nirwati Chandra Dewi.

Tokoh Indonesia

Sastrawan Pujangga Baru

Amir Hamzah lahir sebagai seorang manusia penyair pada 28 Februari 1911 di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Utara. Ia seorang sastrawan Pujangga Baru. Pemerintah menganugerahinya Pahlawan Nasional. Anggota keluarga kesultanan Langkat bernama lengkap Tengku Amir Hamzah Indera Putera, ini wafat di Kuala Begumit, 20 Maret 1946 akibat revolusi sosial di Sumatera Timur.

Sebagai seorang keluarga istana (bangsawan), ia memiliki tradisi sastra yang kuat. Menitis dari ayahnya, Tengku Muhammad Adil, seorang pangeran di Langkat, yang sangat mencintai sejarah dan sastra Melayu. Sang Ayah (saudara Sultan Machmud), yang menjadi wakil sultan untuk Luhak Langkat Bengkulu dan berkedudukan di Binjai, Sumatra Timur, memberi namanya Amir Hamzah adalah karena sangat mengagumi Hikayat Amir Hamzah.

Sejak masa kecil, Amir Hamzah sudah hidup dalam suasana lingkungan yang menggemari sastra dan sejarah. Ia bersekolah di Langkatsche School (HIS), sekolah dengan tenaga pengajar orang-orang Belanda. Lalu sore hari, ia belajar mengaji di Maktab Putih di sebuah rumah besar bekas istana Sultan Musa, di belakang Masjid Azizi Langkat.

Setamat HIS, Amir melanjutkan studi ke MULO di Medan, tapi tidak sampai selesai. Ia pindah ke MULO di Jakarta. Di Jawa perkembangan kepenyairannya makin terbentuk. Apalagi sejak sekolah di Aglemeene Middelbare School (AMS) jurusan Sastra Timur di Solo, Amir menulis sebagian besar sajak-sajak pertamanya. Di sini ia memperkaya diri dengan kebudayaan modern, kebudayaan Jawa, dan kebudayaan Asia lainnya.

Kegemaran dan kepiawian menulis saja itu berlanjut hingga saat ia melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta. Dalam kumpulan sajak Buah Rindu yang ditulis antara tahun 1928 dan t1935, tapak perubahan lirik pantun dan syair Melayunya menjadi sajak yang lebih modern.

Tahun 1931, ia telah memimpin Kongres Indonesia Muda di Solo. Pergaulannya dengan para tokoh pergerakan nasional itu telah mewarnai dunia kesusasteraannya. Sebagai sastrawan dan melalui karya-karyanya yang ditulis dalam bahasa Indonesia, Amir telah memberikan sumbangan besar dalam proses perkembangan dan pematangan bahasa Melayu menjadi bahasa nasional Indonesia. Dalam suratnya kepada Armijn Pane pada bulan November 1932, ia menyebut bahasa Melayu adalah bahasa yang molek.

Bagi Amir, Bahasa Indonesia adalah simbol dari kemelayuan, kepahlawanan dan keislaman. Hal ini tercermin dari syair-syair Amir yang merupakan refleksi dari relijiusitas, dan kecintaannya pada ibu pertiwi serta kegelisahan sebagai seorang pemuda Melayu.

Secara keseluruhan ada sekitar 160 karya Amir yang berhasil dicatat. Di antaranya 50 sajak asli, 77 sajak terjemahan, 18 prosa liris asli, 1 prosa liris terjemahan, 13 prosa asli dan 1 prosa terjemahan. Karya-karyanya tercatat dalam kumpulan sajak Buah Rindu, Nyanyi Sunyi, Setanggi Timur dan terjemah Baghawat Gita.

Ia memang seorang penyair hebat. Perintis kepercayaan diri para penyair nasional untuk menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia, sehingga semakin meneguhkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Amir seorang enyair besar Pujangga Baru, yang kepenyairannya membuat Bahasa Melayu-Indonesia mendapat suara dan lagu yang unik yang terus dihargai hingga saat ini. Ia penyair yang tersempurna dalam bahasa Melayu-Indonesia hingga sekarang.

Amir adalah tiga sejoli bersama Armijn Pane dan SutanTakdir Alisyahbana, yang memimpin Pujangga Baru. Mereka mengelola majalah yang menguasai kehidupan sastera dan kebudayaan Indonesia dari tahun 1933 hingga pecah perang dunia kedua. Pemerintah RI kemudian mengapresiasi jasa dan sumbangsih Amir Hamzah ini dengan menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1975.

Selain itu, penghargaan atas jasa Amir Hamzah terlihat dari penggunaan namanya sebagai nama gedung pusat kebudayaan Indonesia di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur, dan nama masjid di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Namun akhir hidup penyair yang juga pengikut tarekat Naqsabandiyah ini ternyata berakhir tragis. Setelah pada 29 Oktober 1945, Amir diangkat menjadi Wakil Pemerintah Republik Indonesia untuk Langkat yang berkedudukan di Binjai (saat itu Amir adalah juga Pangeran Langkat Hulu di Binjai), kemudian terjadi revolusi sosial pada Maret 2006. Sasarannya adalah keluarga bangsawan yang dianggap feodal dan kurang memihak kepda rakyat, termasuk Amir Hamzah.

Amir Hamzah meninggal akibat revolusi sosial di Sumatera Timur itu, justru pada awal kemerdekaan Indonesia. Kala itu, ia hilang tak tentu rimbanya. Mayatnya ditemukan di sebuah pemakaman massal yang dangkal di Kuala Begumit. Konon, ia tewas dipancung hingga tewas tanpa proses peradilan pada dinihari, 20 Maret 1946, dalam usia yang relaif mati muda, 35 tahun. Ia dimakamkan di pemakaman mesjid Azizi, Tanjung Pura, Langkat. Di makamnya terukir dua buah syairnya.

Pada sisi kanan batu nisan, terpahat bait sajak;

Bunda, waktu tuan melahirkan beta
Pada subuh embang cempaka

Adalah ibu menaruh sangka
Bahwa begini peminta anakda
Tuan aduhai mega berarak
Yang meliputi dewangga raya

Berhentilah tuan di atas teratak
Anak Langkat musafir lata

Pada sisi kiri batu nisannya, terpahat ukiran bait sajak:

Datanglah engkau wahai maut
Lepaskan aku dari nestapa

Engkau lagi tempatku berpaut
Di waktu ini gelap gulita
Sampaikan rinduku pada adinda

Bisikkan rayuanku pada juita
Liputi lututnya muda kencana
Serupa beta memeluk dia

Apa kesalahannya sehingga ia diperlakukan seperti itu? 'Kesalahannya' hanya karena ia lahir dari keluarga istana. Pada saat itu sedang terjadi revolusi sosial yang bertujuan untuk memberantas segala hal yang berbau feodal dan feodalisme. Banyak para tengku dan bangsawan istana yang dibunuh saat itu, termasuk Amir Hamzah.

Tokoh Indonesia

Keutamaan dan Amalan-Amalan Malam Nishfu Syaban

Keutamaan Malam Nishfu Syaban

Keutamaan malam Nishfu Sya‘ban sebagaimana dijelaskan dalam hadits shahih dari Mu‘az bin Jabal Radhiallahu ‘anhu, bersabda Rasulullah Saw. yang artinya: “Allah menjenguk datang kepada semua makhluk-Nya di Malam Nishfu Sya‘ban, maka diampuni segala dosa makhluk-Nya kecuali orang yang menyekutukan Allah dan orang yang bermusuhan.” (HR. Ibnu Majah, at-Thabrani dan Ibnu Hibban)

Begitu juga dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah RA., beliau berkata: "Suatu malam Rasulullah Saw shalat, kemudian beliau bersujud panjang, sehingga aku menyangka bahwa Rasulullah Saw telah diambil, karena curiga maka aku gerakkan telunjuk beliau dan ternyata masih bergerak. Setelah Rasulullah Saw. selesai shalat beliau berkata: "Hai ‘Aisyah engkau tidak dapat bagian?". Lalu aku menjawab: "Tidak ya Rasulullah, aku hanya berfikiran yang tidak-tidak (menyangka Rasulullah telah tiada) karena engkau bersujud begitu lama". Lalu Rasulullah Saw. bertanya: "Tahukah engkau, malam apa sekarang ini?”. "Rasulullah yang lebih tahu", jawabku. "Malam ini adalah malam Nishfu Sya'ban, Allah mengawasi hambanya pada malam ini, maka Ia memaafkan mereka yang meminta ampunan, memberi kasih sayang mereka yang meminta kasih sayang dan menyingkirkan orang-orang yang dengki" (HR. Baihaqi). Menurut perawinya hadits ini mursal (ada rawi yang tidak sampai ke Sahabat), aka tetapi hadits ini cukup kuat.

Malam Nishfu Sya‘ban juga termasuk malam-malam yang dikabulkan doa. Imam asy-Syafi‘i dalam kitabnya al-Umm, berkata: “Telah sampai pada kami bahwa dikatakan: sesungguhnya doa dikabulkan pada lima malam, yaitu malam Jum’at, malam hari raya Idul Adha, malam hari raya ‘Idul fitri, malam pertama di bulan Rajab dan malam Nishfu Sya‘ban.”

Amalan-Amalan dalam Malam Nishfu Sya‘ban

Untuk menghidupkan Malam Nishfu Sya‘ban dapat kita lakukan dengan berbagai cara, tapi hal-hal tersebut dilakukan dengan cara-cara yang baik yang tiak bertentangan denga syri'at.

Di antara hal yang dianggap bid‘ah dan bertentangan dengan syariah oleh sebagaian ulama dalam malam Nishfu sya’ban itu adalah shalat sunat Nishfu Sya‘ban. Menurut sebagian ulama, shalat sunat Nishfu sya’ban sebenarnya tidak tsabit, tidak kuat dasar hukumnyadan dan tidak ada dalam ajaran Islam. Seperti Imam an-Nawawi dan Imam Ibnu Hajar telah menafikan adanya shalat sunat Nishfu Sya‘ban. Karena menurut beliau suatu shalat itu disyariatkan cukup sandarannya pada nash Al-Qur'an atau pada hadits nabi.

Jika seseorang itu masih juga ingin melakukan shalat pada malam Nishfu sya’ban, maka sebaiknya dia mengerjakan shalat-shalat sunat lain seperti sunat Awwabin (di antara waktu maghrib dan Isya'), shalat Tahajjud diakhiri dengan shalat Witir atau shalat sunat Muthlaq bukan khusus shalat sunat Nishfu Sya‘ban. Shalat sunat Muthlaq ini boleh dikerjakan kapan saja, baik pada Malam Nishfu Sya‘ban atau pada malam-malam lainnya.

Tapi ulama lain seperti Imam al-Ghazali dalam kitabnya al-Ihyaa’ (Juz 1 hal. 210) menyatakan bahwa shalat malam Nishfu sya’ban adalah sunat dan hal itu dilakukan pula oleh para ulama salaf. Bahkan para ulama salaf menamakan shalat tersebut sebagai shalat khair (shalat yang baik). Begitu juga ulama-ulama lain seperti al-Allamah al-Kurdi. Selain dalam kitab al-Ihyaa’ juga dalam kitab-kitab lain seperti Khaziinah al-Asraar (hal. 36), al-’Iaanah (Juz 1 hal. 210), al-Hawaasyi al-Madaniyyah (Juz 1 hal. 223), dan al-Tarsyiih al-Mustafiidiin (hal. 101).

Nah, terlepas dari ‘kontroversi’ tentang amalan-amalan pada malam Nishfu syaban khususnya tentang shalat Nishfu sya’ban yang dianggap bid’ah oleh sebagian ulama dan dianggap sunat oleh ulama lain, maka kita sangat dianjurkan untuk meramaikan malam Nishfu Sya'ban dengan cara memperbanyak ibadah, salat, dzikir membaca al-Qur'an, berdo'a dan amal-amal shalih lainnya seperti puasa pada siang harinya sebagaimana dicontohkan Rasulullah Saw. sehingga kita tidak termasuk orang-orang yang lupa akan kemuliaan bulan sya’ban ini. Wallah a’lam bishawab!

NU Online

Penggagas Ejaan Yang Disempurnakan

Mantan Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (kini Pusat Bahasa) Prof Dr Amran Halim seorang tokoh bahasa Indonesia, penggagas Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Mantan Rektor Universitas Sriwijaya, kelahiran Pasar Talo, Bengkulu, 25 Agustus 1929, ini meninggal dunia dalam usia 79 tahun, di Palembang, Sabtu 13 Juni 2009 pukul 11.40.

Menurut putri pertamanya, Frieda Agnani, Amaran, guru besar bahasa Indonesia, ini pernah menjabat sebagai Kepala Pusat Bahasa pada tahun 1970-an. Disebutkan, Amran Halim adalah penggagas pembakuan Bahasa Malaysia dan Bahasa Indonesia saat menjabat sebagai Ketua Majelis Bahasa Indonesia Malaysia (MBIM). Hasil pembakuan MBIM akhirnya juga digunakan untuk bahasa Brunei Darussalam. Amran juga ikut menyusun Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) setelah menjabat sebagai Ketua MBIM.

Amran Halim, tokoh bahasa yang juga guru besar Bahasa Indonesia, ini menjadi kepala Pusat Bahasa keenam yang pada awal dibentuknya pada 1 April 1975 bernama Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Setelah Amran Halim, Pusat Bahasa kemudian dipimpin Prof. Dr. Anton M. Moeliono, Drs Lukman Ali, Dr Hasan Alwi, dan kini (2009) dipimpin Dr Dendy Sugono.

Kemudian berdasarkan Keppres tahun 2000, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa berubah nama menjadi Pusat Bahasa. Lembaga ini berada di bawah naungan Sekretariat Jenderal Departemen Pendidikan Nasional.

Amran Halim adalah orang yang berjasa besar dalam pengembangan Bahasa Indonesia. Saat pemerintah menetapkan ejaan resmi Bahasa Indonesia yang diberi nama “Ejaan yang Disempurnakan” (EYD) berdasarkan Keputusan Presiden No.67 Tahun 1972, kemudian Menteri Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu Sjarif Thajeb membentuk Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia dengan ketua Amran Halim.

Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia yang dipimpin Amran Halim ini kemudian menyusun buku “Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan” yang tebalnya hanya 55 halaman, dicetak pertama kali tahun 1978 oleh penerbit Balai Pustaka. Buku berwarna putih dengan warna biru muda tempat meletakkan judulnya sudah beberapa kali mengalami cetak ulang.

Amran Halim yang hingga akhir hayatnya masih aktif di sejumlah organisasi di Sumsel, seperti menjabat Ketua Dewan Pertimbangan Pendidikan Daerah Sumsel, Dewan Kesenian Sumsel, dan kegiatan kepramukaan, semasa muda pernah bergabung dalam tentara pelajar. Atas perjuangannya tersebut pemerintah menganuegrahkan bintang gerilya. Ia pun berhak untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Ksatria Siguntang, Palembang.

Namun menurut Priada anak tertua almarhum, ayahnya pernah mengatakan tidak ingin mau dimakamkan di taman makam pahlawan. "Almarhum ingin tetap di makamkan di taman pemakaman umum Puncak Sekuning dekat makam ibu,” ujar Prida.

Amran Halim meninggal dunia di RS RK Charitas, Palembang, Sumatera Selatan, karena kanker paru. Sempat dirawat di RS RK Charitas selama 17 hari. Amran Halim meninggalkan seorang istri, Nuryanti Syafniar Amran (65), dan dua anak kandung, Frieda Agnani Amran (50) serta Davron Donny Amran (46), serta lima anak angkat, yaitu Anova Luska (42), Ribodesiana (41), Medika Azwar (37), Variantono (34), dan Agung Hakimolast (31). Hingga akhir hayat memiliki 11 cucu dari seluruh anak kandung dan anak angkatnya.

Tokoh Indonesia

I-4, Upaya Mengulang Kejayaan Ulama Nusantara

Tak disangka-sangka, rencana penyelenggaraan Workshop Internasional dan Sosialisasi Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional untuk wilayah Timur Tengah, Afrika dan Asia Selatan menuai respon yang sangat besar. Entitas ini berubah menjadi raksasa yang untuk memahaminya secara integral nyaris tidak bisa terwujud. Penilaiannya secara perspektif atau melihatnya dari angle tertentu lebih mengemuka dan menggempita di dunia maya elektronika. Pertama-tama adalah respon beberapa pembaca situs berita Detik.com terkait rencana penyelenggaraan acara ini. Ada satu dua pembaca yang mempertanyakan kapasitas atau kompetensi ilmuwan Timur Tengah –yang nota bene berlatar-belakang ilmu-ilmu keislaman- dalam mendiskusikan masalah terorisme. Lalu diikuti juga oleh beberapa elemen masisir lebih suka menengok ke belakang, mempertanyakan kembali keterwakilan koorodinator I-4 Timteng, Afrika dan Asia Selatan dalam organisasi para ilmuwan ini, sebagaimana ada juga yang melihat ketimpangan hubungan I-4 dengan organisasi induk masisir.

Kalau melihat judul dari acara ini, yakni sosialisasi, maka bisa dikatakan bahwa gegapnya respon terhadap acara ini menunjukkan target acara ini nyaris tercapai. Penulis sendiri dengan kapasitas sebagai Ketua Steering Committe, dalam rapat perdana panitia Workshop Internasional dan Sosialisasi I-4 kawasan Timur-Tengah, Afrika dan Asia Selatan, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sosialisasi adalah sejauh mana Masisir khususnya, dan masyarakat Indonesia di kawasan Timur Tengah, Afrika dan Asia Selatan pada umumnya, mengetahui apa itu I-4 baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

Kuantitatif maksudnya diraih jumlah yang maksimal dari obyek sasaran, sementara kualitatif maksudnya diraih pemahaman yang baik mengenai I-4. Respon-respon yang diarahkan kepada I-4 patut dipahami sebagai upaya memahami I-4 dengan baik. Barangkali Panitia harus lebih sabar meladeni respon-respon yang ada meskipun menurut pandangan mereka terkesan berbobot simpel dan insignificant.

Tidak bermaksud melebih-lebihkan konsep dan kerja koordinator berikut panitia yang menyertainya, tapi upaya untuk menyuguhkan apa dan bagaimana I-4 mulai dari sejarah berdirinya, rekonstruksi rancang bangun organsisai I-4 sampai target-target yang akan diraih untuk masa sekarang dan mendatang sudah digodog dengan cukup matang. Dalam sesi brainstorming misalnya, para stakeholders I-4, baik pusat maupun kawasan akan memaparkan dengan gamblang semua hal terkait dengan I-4.

Dalam sesi berikutnya, yakni keorganisasian I-4, akan dibahas mengenai bangunan organsisasi I-4, khususnya untuk kawasan Timur-Tengah, Afrika dan Asia Selatan. Di sinilah para peserta ditantang untuk membuat bangunan rumah I-4 yang kokoh, mempunyai visi ke depan yang jelas dan memberikan manfaat seluas-luasnya kepada masyarakat Indonesia. Kita sangat berharap peserta dari Mesir berperan aktif dan mewarnai dalam sesi ini karena di samping sebagai peserta mayoritas, mereka adalah tuan rumah sekaligus tumpuan harapan para generasi setelahnya.

Satu lagi yang tak luput dari bidikan jeli panitia adalah sesi futuristik, yakni pembahasan mengenai garapan unggulan I-4 Timteng dan Afrika. Pada sesi inilah para peserta ditantang untuk membuat program-program yang bersinergi dengan program-program I-4 di kawasan lain, atau lebih dari itu, mampu menyuguhkan program-program yang berkualitas tapi sarat dengan sumbangsih yang tinggi pada masyarakat Indonesia. Sesi ini bisa juga dikatakan sebagai upaya mengulang sejarah kejayaan para ulama Nusantara tempo doeloe, di mana ketika mereka bermukim di negeri orang, mereka berkumpul mengonsep pendidikan, kesejahteraan masyarakat, masa depan bangsa. Buah dari “ilmuwan-ilmuwan Nusantara tempo doeloe’ inilah yang merupakan cikal-bakal kemunculan pesantren-pesantren, metode-metode belajar mengajar, dan organisasi-organisasi masa, yang manfaatnya masih bisa kita rasakan sampai sekarang ini.

Sebagai bentuk realisasi dari kerja para ilmuwan, panitia juga menyediakan waktu yang cukup longgar untuk membahas dua tema krusial bagi negara kita, yakni Terorisme dan Human Trafficking. Sesi ini akan menjadi sangat menarik, karena dua tema yang menurut common sense sangat lekat dan erat dengan disiplin sosiologi umum akan dibahas oleh para ilmuwan yang berlatar-belakang ilmu-ilmu keislaman seperti Tafsir, Hadis, Dakwah Islamiyah, dan lain-lain. Lalu bagaimanakah para ilmuwan dengan latar belakang seperti itu akan membahas dua tema tersebut? Apakah dua tema tersebut sejatinya memang terkait dengan masalah-masalah keagamaan? Lagi-lagi sesi ini akan bertambah menarik, karena para ilmuwan muda dalam membahas masalah ini akan dipandu oleh guru besar yang berkompeten dalam bidang ini. Satu hal yang tentu akan mengingatkan kita akan dunia akademis yang kritis, konstruktif dan terarah.

Akhiran, di tengah derasnya respon yang beragam menanggapi acara ini, penulis berharap teman-teman panitia bisa menampung semua aspirasi Masisir demi kesuksesan acara ini pada khususnya, dan terbangunnya pemahaman utuh atas I-4 secara umum. Semoga Allah membalas kebaikan orang yang berkhidmah demi ilmu dan ulama dengan yang lebih baik. Dan semoga organisasi ini bias berkembang sebagai sunnah hasanah yang akan terus berproses, serta memberi manfaat seluas-luasnya kepada masyarakat Indonesia.

M. Saifuddin, M.A (Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional)

Bung Karno Sebagai Seorang Arsitek

Tahun 1933, sekitar bulan Februari, selepas Bung Karno keluar dari rumah tahanan, Ir. Rooseno mau mendirikan Biro Oktroi bersama Bung Karno. Rooseno kuat dalam hitung-hitungan struktur sementara Bung Karno jago dalam menggambar.

Banyak gedung yang dibuat oleh biro oktroi ini, termasuk sebuah rumah di Jalan Pangkur (dekat tempat tinggal Bung Karno) dan di Jalan Suniaradja, Bandung. Sebelum bersama Rooseno, Bung Karno mendirikan biro arsitek bersama Ir. Anwari, akan tetapi waktu semasa dengan Anwari, Bung Karno lebih sibuk dalam kancah politik. Walaupun begitu, beberapa rumah bisa dibangun bersama Anwari sekitar tahun 1926-1929, yang berkantor di rumah sewa Bung Karno, di Regentweg (Jalan Dewi Sartika).

Di Regentweg Bung Karno merancang beberapa rumah kecil, di saat itu dia mengeluh "aku ini berpikiran besar, tapi yang aku rancang rumah-rumah kecil", namun biarpun begitu rumah buatan Bung Karno banyak yang berdiri kokoh sampai sekarang, ini membuktikan kekuatan dan daya tahan rumah buatan Bung Karno sangat ampuh.

Kalo Anwari sedang menghitung, Bung Karno biasanya duduk-duduk di teras untuk menemui tamu-tamu yang banyak datang. Dan kalau sedak tidak ada uang, sementara Inggit masih di luar untuk berdagang jamu dan batik, Bung Karno kerap memanggil wartawan yang lewat. "Mau kemana?" teriak Bung Karno. Sang wartawan menoleh "cari berita". Bung Karno berteriak lagi "sudah sini saya buatkan tulisan" tak lama kemudian tulisan itu terbuat di meja teras Bung Karno, dan wartawan itu memberi honor langsung di tempat. Uang itu lantas dibelikan peuyeum untuk disuguhkan kepada para tamu Bung Karno. Sepanjang hidupnya, Bung karno tidak pernah tertarik pada uang, ia selalu tertarik pada "hubungan antar manusia".

Sebagai arsitek, Bung Karno dididik oleh Prof.Wolff Schoemaker, yang pernah terkesan akan daya imajinasi Bung Karno. Bangunan depan hotel Preanger yang sedang direnovasi, Bung Karno yang disuruh menyelesaikannya. Padahal saat itu Bung Karno belum lulus kuliah dan baru saja magang. Karena tidak punya uang, Bung Karno tidak seperti mahasiswa lain yang melanjutkan pendidikan arsitektur ke Delft tapi menyelesaikannya dengan magang.

Di kemudian hari, Bung Karno mengembangkan kemampuan arsiteknya dalam membentuk karakter bangsa. Bung Karno kurang menyukai detail-detail yang rumit dan kecil, tetapi sangat menyukai kepada yang besar, perkasa, dan bersifat monumental. Monumen Nasional adalah contoh jelas prinsip Bung Karno tersebut, menara yang relatif polos, namun tinggi menjulang di satu openspace raksasa kawasan Gambir telah menjadi landmark bagi Jakarta, sejajar dengan landmark negara lain seperti Statue of Liberty, Eiffel, Sidney Opera House, dll.

Bung Karno menyukai karya yang bersifat abadi, dan murni kreasi bangsa sendiri, bahkan kadang dekat dengan misteri alam dan misteri sosial. Bung Karno yang anti feodalisme senang mengamati alam, "berdialog" dengan alam dan berpikiran tanpa batas. Mungkin karena hal inilah, muncul ucapanya yang terkenal "Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit".

Bung Karno menyukai wayang, yang kadangkala mempengaruhi pribadi dan filosofinya. Sebagai anak desa yang tumbuh dalam budaya Jawa, ia tak terpengaruh untuk menjadi "rural-agraris". Pribadi yang halus, sopan namun tegas bertindak. Ia juga sangat menghargai harga barang seni yang diinginkannya, sehingga tidak mau membeli dengan harga murah, hanya karena ia seorang yang memiliki kedudukan tinggi.

Dibalik itu semua Bung Karno mengajarkan pada bangsa Indonesia untuk membangun dan melatih imajinasi. Bangsa yang memiliki daya imajinasi, maka bangsa itu menjadi besar. Namun sayang banyak orang tidak mengerti, termasuk sederetan mahasiswa-mahasiswa di tahun 1966, yang berteriak: kita membutuhkan nasi, bukan monumen. Bung Karno bilang, bahwa bangsa besar monumen adalah kehormatan, adalah martabat. Maka beliau bilang "monumen itu seperti celana" lalu mahasiswa-mahasiswa itu bilang "ada orang pikun, monumen dibilang celana".

Nyata-nyata, apa yang dipikirkan Bung Karno kita merasakannya sekarang. Sebagai bangsa kita tidak punya kehormatan sama sekali, karena apa? karena bangsa ini telah menyingkirkan Bung Karno, seorang arsitek besar bagi sebuah kehormatan dan kemerdekaan bangsa Indonesia. Kini saatnya, kita menoleh kembali pada Bung Karno, Sang tonggak sejarah bangsa Indonesia.

Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan

“Mereka tidak tahu kecuali bahwa saya hanya dipukul. Saya tidak cerita kepada suami. Saya sangat takut dan merasa sangat malu. Saya tidak berani ambil risiko dan tidak berani membayangkan kalau suami saya tahu. Kemungkinan besar, dia tidak bisa menerima bahwa saya sudah ditiduri oleh orang lain, walaupun itu diperkosa … Malu, kalau terjadi perceraian dan masyarakat nanti akan cari tahu [apa alasannya].” (Perempuan Aceh, korban penyiksaan seksual pada masa konflik bersenjata, 2003)

Komnas Perempuan bekerja dengan berpedoman pada prinsip bahwa hak korban mencakup hak atas kebenaran, keadilan dan pemulihan. Ketiga hak ini saling kait mengkait, tidak dapat dipisah-pisahkan dan merupakan satu kesinambungan yang menghubungkan pemulihan diri yang personal dengan pemulihan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang lebih luas. Dari pengalaman menerapkan prinsip tersebut selama ini terlihat peran lembaga dan komunitas agama merupakan kunci dalam memberikan bantuan praktis jangka pendek bagi perempuan korban maupun dalam upaya jangka panjang untuk membangun kesadaran baru di tengah masyarakat agar kekerasan yang dialami para korban tidak terulang lagi.

Salah satu upaya dalam rangka membangun kesadaran bersama ini, Komnas Perempuan bekerja sama dengan kelompok-kelompok agama (Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, Kristen, dan Katolik) untuk menyuarakan respon positif mereka terhadap gerakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Kerja sama dengan komunitas agama ini dibangun melalui para teolognya dengan berproses bersama melalui sebuah dialog yang konstruktif dan berkesinambungan antara perempuan korban dan komunitas serta pemuka agamanya, demi kebenaran, keadilan dan pemulihan.

Buku dengan judul Memecah Kebisuan: Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan (Respon NU) ini mengangkat beberapa kasus kekerasan, yakni poligami yang merupakan celah atau peluang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kondisi perempuan kepala keluarga di lingkungannya, serta perempuan-perempuan yang memilih profesi sebagai buruh migran (TKW) untuk melanjutkan kehidupan yang lebih baik bagi diri dan keluarganya. Tiga fenomena ini cukup menjelaskan tindakan kekerasan dialami perempuan di tengah-tengah masyarakat yang patriarkal dan pemahaman yang “keliru” terhadap ajaran agama telah meminggirkan, mendiskriminasi bahkan menihilkan keberadaan perempuan.

Sebagai sebuah sikap, buku ini menawarkan cara pandang baru dari perspektif agama (Islam) dalam memandang perempuan korban kekerasan. Ia meminta rumusan yang lebih adil bagi perempuan tentang kodrat, penjaga kesucian (diri, keluarga, dan komunitas), perempuan sebagai anak, istri, dan kepala keluarga, bahkan tentang perempuan sebagai warga negara dan juga pejabat publik. Sejarah nasib perempuan sebelum dan sesudah Islam diajarkan kepada masyarakat juga dipaparkan dalam buku ini: bagaimana perempuan dikubur hidup-hidup ketika lahir karena dianggap aib dalam keluarga hingga diperjualbelikan, dipaksa kawin dan melacur. Agama Islam lahir pada saat itu untuk meninggikan nilai-nilai kemanusiaan. Perempuan diangkat harga dirinya karena demikianlah manusia seharusnya.

Beberapa rekomendasi buku ini ditujukan kepada tokoh agama, organisasi perempuan Islam, dan pemerintah. Tokoh agama diharapkan mempertimbangkan perspektif perempuan dalam memahami ajaran agama, memertimbangkan kondisi spesifik yang dialami oleh perempuan korban kekerasan, serta mempertimbangkan suara perempuan korban agar tidak salah mengambil keputusan yang terbaik bagi korban. Misalnya perempuan korban perkosaan tidak semestinya dipaksa untuk menikah dengan pelaku.

Komnas Perempuan

NU dan Garasinya

Keluarga Pak Nuas Waja merupakan keluarga desa yang cukup kaya. Di samping rumah yang besar, keluarga ini memiliki sawah, kebun, peternakan, perahu penangkap ikan, toko serba ada, dan masih ada kekayaan dan usaha yang lain. Keluarga Pak Nuas Waja yang cukup banyak, tidak kesulitan menangani semua harta dan usaha itu, meski pengelolaannya masih secara tradisional. Masing-masing anggota keluarga, sesuai keahliannya diserahi dan bertanggungjawab atas bidang yang dikuasainya. Ini menggarap sawah; ini mengurus kebun; itu menangani toko; itu mengurus peternakan; demikian seterusnya.

Masih ada satu usaha keluarga lagi yang dilakukan bekerja sama dengan pihak-pihak lain. Yaitu, usaha transportasi. Tapi, karena waktu pembagian keuntungan, dirasa kurang adil, akhirnya keluar dan mendirikan usaha transportasi sendiri. Berhubung usaha ini baru bagi mereka, maka diajaknya beberapa personil dari luar yang dianggap mampu dan mengerti seluk-beluk transportasi. Ternyata, usaha baru ini meraih sukses yang luar biasa. Dari empat besar perusahaan transportasi, perusahaan keluarga pak Nuas Waja yang baru ini meraih peringkat ketiga. Dampak dari sukses besar ini, antara lain: personil-personil dari luar yang ikut membantu–atau yang berjanji akan membantu--menangani usaha ini pun menyatakan bergabung total sebagai anggota keluarga. Pak Nuas pun tidak keberatan dan justru senang.

Dampak lain yang jauh lebih penting dan serius, ialah kemaruknya para anggota keluarga terhadap usaha transportasi yang sukses besar ini. Setiap hari sebagian besar mereka berjubelan di garasi; meskipun sebenarnya banyak yang sekedar bermain-main klakson atau memutar-mutar stir mobil, karena memang tak tahu apa yang harus mereka lakukan di garasi itu. Lama-lama, mereka yang bertanggung jawab menggarap sawah, kebun, peternakan, toko, dlsb pun tertarik dan tersedot ikut menjubeli garasi mereka. Sawah pun menjadi bero, kebun tak terawat, toko tak ada yang menjaga, ternak-ternak pada mati, perahu nganggur Bahkan, rumah sendiri sering kosong, banyak perabotan diambil dan dibawa orang tak ada yang tahu. Halamannya kotor tak terurus.

Ketika penguasa negeri ganti dan mendirikan juga usaha transportasi sendiri, keluarga Nuas Waja pun agak pusing. Soalnya cara berusaha penguasa baru ini tidak lazim. Mereka menggunakan cara-cara makhluk rimba untuk memajukan usaha mereka. Tak segan-segan mereka menggunakan tipuan dan kekerasan.Orang dipaksa untuk menggunakan transportasi mereka; yang tidak mau, tahu rasa!

Namun, meski bersaing dengan usaha penguasa yang zalim begitu, usaha keluarga Nuas Waja masih mampu bertahan, walau babak-belur. Bahkan perlakuan penguasa itu justru semakin mengentalkan ‘fanatisme’ keluarga terhadap usaha transportasi ini.

Akan tetapi, penguasa lebih pintar lagi. Dengan kelicikannya, orang pun digiring untuk menyepakati aturan main baru yang agaknya sudah lama mereka rencanakan di bidang transportasi ini. Aturan itu melarang orang berusaha transportasi sendiri-sendiri di rumah. Mereka yang berusaha di bidang transportasi harus nge-pol dan bergabung dalam salah satu dari tiga wadah usaha yang sudah disiapkan. Akhirnya, keluarga Nuas pun bergabung dengan beberapa penguasaha lain, sesuai arahan penguasa. Dan nasib seperti pada masa lampau pun terulang kembali. Keluarga Nuas yang sahamnya paling besar, justru waktu pembagian keuntungan selalu kena tipu dan rugi.

Maka, waktu ada gagasan dari sementara anggota keluarga untuk kembali saja ke jati diri awal mereka, banyak yang mendukung gagasan itu, meskipun dengan alasan yang berbeda-beda. Demikianlah, meskipun seperti malas-malas dan terus menghadapi godaan untuk hanya mengurusi usaha transportasi, anggota keluarga yang biasa menggarap sawah, mulai kembali ke sawah; yang biasa mengurus kebun, kembali ke kebun; yang mengelola toko, kembali ke toko; demikian seterusnya. Sementara itu, mereka yang sudah merasa mapan menjalankan usaha transportasi, sesekali masih mencoba mencari kawan pendukung.



Dunia selalu berubah. Beberapa waktu, setelah pemerintahan ganti lagi dan usaha transportasi kembali bebas, keluarga Nuas Waja pun kembali terseret arus pertransportasian yang kembali marak. Banyak keluarga yang dulu punya usaha sendiri, beramai-ramai menghidupkan kembali usaha transportasi mereka. Garasi pun dibangun dimana-mana. Dan keluarga Nuas Waja pun menghabiskan enersi mereka untuk urusan garasi dan transportasi; termasuk mereka yang busi dan dongkrak pun tak mengenalnya.

***
Mungkin saya terlalu sederhana, tapi tamsil di atas itulah yang selalu saya gunakan untuk menerangkan NU dan Khithahnya kepada orang-orang sederhana di bawah.

Saya ingin mengatakan bahwa memang ada faktor politik di dalam proses kelahiran Khithah NU, tapi bukan berarti politiklah yang harus disalahkan dan oleh karenanya lalu dipahami NU tak lagi menghalalkan–setelah selama ini menghalalkan--politik. Khitthah NU dalam hal ini–karena Khitthah tak sekedar bicara hal ini--sekedar mendudukkan politik dalam proporsi sesuai dengan porsinya. Politik, sama dengan dakwah, pendidikan, ekonomi, dsb., mesti dilihat sebagai khidmah kemasyarakatan yang harus dilakukan secara bertanggungjawab bagi kepentingan bangsa dan negara. (Baca Khitthah NU butir 8)

Agaknya, warga NU memang belum siap untuk menerima NU sebagai organisasi yang baik seperti dituntut Khitthah NU. Setelah perjalanannya sebagai jamaah yang cukup jauh, tiba-tiba warga NU pangling dengan jatidirinya sendiri. “Kesuksesan” mereka dalam kiprah politik, membuat mereka seperti kemaruk, sehingga mempersiapkan diri bagi amal politik sebagai khidmah tak kunjung terpikirkan. Sementara, kehidupan perpolitikan di negeri ini pun tidak mengajarkan perilaku politik yang baik, yang mengarah kepada tercapainya kemaslahatan bersama. Perpolitikan yang hanya mengedepankan kepentingan sesaat bagi kelompok sendiri-sendiri. Di pihak lain, mereka yang terus-menerus menyaksikan praktek-praktek politik yang mengabaikan akhlaqul karimah dan belum pernah merasakan manfaat dari perpolitikan itu, malah justru sering dirugikannya, serta merta menyambut Khitthah NU dengan kegirangan orang mendapat dukungan.
Akibatnya, Khitthah NU yang semestinya menjadi landasan bagi perbaikan menyeluruh untuk kepentingan bersama, hanya dijadikan sekedar alat bagi membenarkan kiprah masing-masing alias hanya dijadikan senjata untuk bertikai antar sesama.

Sebenarnya, dengan tamsil di atas itu, saya ingin mengatakan juga bahwa NU dan Khitthahnya sebenarnya sangat gamblang, mudah dipahami, dan tak ada masalah.

Khitthah NU hanya mengingatkan bahwa NU itu mempunyai tujuan besar dan cita-cita luhur yang untuk mencapainya, mengupayakan dengan berbagai ikhtiar. Bidang garapan dan khidmah NU karenanya bermacam-macam. Masing-masing dilakukan oleh mereka yang memang seharusnya melakukannya (ahlinya).

Namun, sebagaimana Islam dan Pancasila, persoalannya selalu lebih kepada manusianya. Itulah sebabnya, pada waktu menjelang Munas Lampung tahun 1992, ketika Kyai A. Muchith Muzadi diminta PBNU menulis syarah Khitthah, saya sempat mempertanyakan, apanya yang perlu disyarahi? Bukankah Khitthah NU sudah sedemikian jelas bagai matahari siang? Apabila orang tidak bisa melihat matahari, bukan mataharinya yang kurang jelas. Sekarang disyarahi dan besok mungkin dikhasyiahi pun, jika kepentingan NU dan umat masih dinomorsekiankan, insya Allah Khitthah tetap tak kunjung “jelas” bagi mereka yang bersangkutan.

Sejak pertama dimasyarakatkannya Khitthah NU, telah ratusan kali saya bertemu warga NU, yang tokoh maupun bukan; belasan kalau tidak puluhan artikel saya tulis; dan kesimpulan saya tetap seperti itu. Seperti Indonesia ini, manusianyalah yang perlu ‘direformasi’. Karena itu saya selalu ngotot, bahwa penataan diri mestilah merupakan prioritas. NU harus segera diupayakan menjadi jam’iyyah, tidak terus menerus hanya sebagai jamaah.

Khitthah NU ini merupakan landasan dan patokan-patokan dasar yang perwujudannya dengan izin Allah terutama tergantung kepada semangat pemimpin dan warga NU. Jam’iyyah Nahdlatul Ulama hanya akan memperoleh dan mencapai cita-citanya jika pemimpin dan warganya benar-benar meresapi dan mengamalkan Khittah NU ini. (Khotimah Khitthah Nahdlatul Ulama). Wallahu a‘lam. (gusmus.net)

Beasiswa Sampoerna School of Business

Sampoerna School of Business masih membuka kesempatan gelombang kedua pendaftaran beasiswa bagi siswa-siswi yang memenuhi persyaratan meraih gelar sarjana (S-1) Bisnis (bachelor of business degree). Program beasiswa ini ditujukan bagi lulusan SMA/sederajat tahun kelulusan 2008, 2009, dan 2010.

Sampoerna School of Business (SSB) merupakan institusi pendidikan tinggi tersier kedua setelah Sampoerna School of Education (SSE) di bawah naungan Putra Sampoerna Foundation (PSF). Untuk angkatan pertamanya pada tahun ajaran 2010/2011 ini, SSB membuka dua jurusan studi, yaitu Manajemen dan Akuntansi.

Menawarkan kuota sebanyak 113 mahasiswa baru di angkatan pertamanya ini, SSB menawarkan dua alternatif pembiayaan, yaitu beasiswa pendidikan dan student financing. Bagi yang tertarik, batas akhir pendaftaran untuk gelombang kedua ini hanya sampai 30 Juni 2010.

Informasi pendaftaran, skema beasiswa, dan lain-lainnya terkait beasiswa ini bisa dilihat di situs SBB.

Sastra Jawa dan Bahasa Jawa

Sejarah Sastra Jawa dimulai dengan sebuah prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi (Sukobumi), Pare, Kediri Jawa Timur. Prasasti yang biasa disebut dengan nama Prasasti Sukabumi ini bertarikh 25 Maret tahun 804 Masehi. Isinya ditulis dalam bahasa Jawa Kuna.

Setelah prasasti Sukabumi, ditemukan prasasti lainnya dari tahun 856 M yang berisikan sebuah sajak yang disebut kakawin. Kakawin yang tidak lengkap ini adalah sajak tertua dalam bahasa Jawa (Kuna).

Biasanya sejarah sastra Jawa dibagi dalam empat masa:
* Sastra Jawa Kuna
* Sastra Jawa Tengahan
* Sastra Jawa Baru
* Sastra Jawa Modern

Sedang untuk bahasa Jawa terbagi menjadi delapan tingkatan:
* Ngoko
* Ngoko Andhap
* Madhya
* Madhyantara
* Kromo
* Kromo Inggil
* Bagongan
* Kedhaton

Dalam masyarakat Jawa terdapat penuturan penggunaan bahasa; dalam penerapannya masyarakat jawa sering menyebutnya dengan unggah-ungguh. Seiring dengan perkembangan zaman semakin kritis kondisi bahasa Jawa. Tatanan penggunaan bahasa dan unggah-ungguh telah berkurang. Banyak dari masyarakat muda Jawa, tidak mengerti bahasa tata krama. Ini disebabkan karena penggunaan bahasa yang lebih sering didengar (umum) adalah bahasa sehari-hari tidak lagi digunakan tingkatan sosial dalam bahasa pengucapan yang dipergunakan. Faktor lain karena pendidikan bahasa Jawa dalam sekolah tak lagi optimal dan bahkan dalam sejumlah sekolah modern telah ditiadakan pelajaran bahasa Jawa. Jika ditelaah kembali dalam bahasa Jawa itu terdapat sebuah tatanan penghormatan kepada orang yang diajak bicara dan budi pekerti yang luhur bagi orang yang berbicara.

Al-Azhar Terbitkan Ensiklopedia Bahasa Ibrani

Universitas Al-Azhar berhasil menerbitkan sebuah ensiklopedia yang memuat glosari istilah-istilah agama Yahudi dalam bahasa Ibrani (Hebrew).

Menurut Ketua Departemen Bahasa dan Terjemah, FakultasBahasa dan Terjemah Universitas Al-Azhar, Prof. Dr. Zamzam Suad, ensiklopedia tersebut dibuat dengan mengacu kepada beberapa kitab warisan agama Yahudi.

Beliau menambahkan, bahwa proyek ini dibantu oleh sepuluh mahasiswa dari Fakultas Bahasa dan Terjemah Universitas Al-Azhar, yang diawasi oleh para Dosen Ahli dalam bidang bahasa Ibrani. Saat ini, ensiklopedia ini menjadi rujukan utama Fakultas Bahasa dan Terjemah Universitas Al-Azhar.

Untuk membantu dalam memahami beberapa istilah sulit dalam bahasa Ibrani, ensiklopedia ini dilengkapi dengan deskripsi, penjelasan, dan kesimpulan serta contoh-contoh yang mudah untuk dipahami. Ensiklopedia ini, dapat dijadikan sebagai referensi dasar serta panduan bagi siapa saja yang berminat untuk mengetahui secara mendalam tentang Yahudi atau Bani Israel.

Tim penyusun ensiklopedia ini, terdiri dari Wakil Dekan Fakultas Bahasa
dan Terjemah, Dr. Mustafa Abdul Syafi, Ketua Departemen Bahasa Ibrani Fakultas Bahasa dan Terjemah, Dr. Khaled Abdul Latif dan beberapa Profesor pada fakultas tersebut.

Menurut Guru Besar Fakultas Akidah dan Filsafat, Dr. Abdul Mu'ti Baiyumi, usaha menghimpun segala maklumat serta istilah yang berhubungan dengan agama Yahudi sangat penting dewasa ini.

Sedang menurut Dr. Muhammad Syamah, Ketua Departemen Bahasa Jerman Al-Azhar, yang juga Penasehat Kementerian Wakaf Mesir, ensiklopedia amat penting bagi kalangan peneliti dan mahasiswa, untuk memperkasa informasi mereka tentang agama Yahudi.

Beliau juga menambahkan, usaha sesuatu untuk menerjemahkan dari satu bahasa ke satu bahasa tertentu, merupakan dasar ke arah pencapaian suatu peradaban, lebih-lebih lagi terjemahan yang berhubungan dengan sesuatu pegangan atau agama seperti Yahudi, yang merupakan salah satu agama samawi (langit) yang menjadi pegangan kepada kebanyakan Nabi di kalangan Bani Israel.

Sosialisasi I-4 di Timur Tengah

Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4) berencana akan menggelar Workshop Internasional dan Sosialisasi I-4 untuk kawasan Timur-Tengah, Asia Selatan dan Afrika pada bulan Juli mendatang di Cairo–Mesir.

Secara umum agenda ini akan terformat dalam bentuk Workshop yang direncanakan akan menghadirkan Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, Dr. Anis Baswedan, Prof. Dr. Fasli Jalal, Dr. Andreas Raharso, Dr. Muhammad Reza, Ir. Agusman Effendi dan beberapa representasi ilmuwan-ilmuwan dari kawasan Timur-Tengah, Asia Selatan dan Afrika, serta juga dalam format Sosialisasi I-4 kepada seluruh perwakilan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) kawasan tersebut, berikut seluruh masyarakat Indonesia di Mesir.

Dr. Fadlolan Musyaffa, MA, selaku Koordinator I-4 Perwakilan Benua Afrika dan Timur Tengah, menyebutkan bahwa topik Workshop yang akan dibahas adalah Terorisme dan Human Trafficking. Di mana diharapkan dari dua topik utama ini, akan dihasilkan rekomendasi solutif yang bisa bermanfaat bagi pihak-pihak terkait di Indonesia semisal BIN dan Depnaker.

Proyek Workshop dan Sosialisasi I-4 ini benar-benar merupakan tantangan bagi Badan Kerjasama Persatuan Pelajar Indonesia (BK-PPI) Timteng dan sekitarnya untuk bersinergi membuktikan kontribusi dan potensi keilmuan mereka dalam arsitektur I-4. Ahmad Syukron Amin, mantan Ketum PPI Yaman yang juga merupakan SC dari kepanitiaan ini sangat pro-aktif mengkonsolidasi Rapat Virtual Mingguan SC maupun BK-PPI Timteng dan sekitarnya dalam rangka pematangan konsep Workshop dan Sosialisasi I-4 ini

Sejauh ini, kepanitian yang mensinergikan semua elemen Mahasiswa Indonesia Mesir dan beberapa pihak dari kawasan terkait ini sudah mulai berjalan dengan baik. Ketua Panitia, Heri Nuryahdin menampakkan keoptimisannya jika Timur-Tengah, Asia Selatan dan Afrika akan sukses menggelar bingkisan berarti bagi pembangunan martabat keilmuan Republik ini.

Achmad Adhitya, Phd, selaku Sekjen I-4 menyebutkan harapan besarnya agar kawasan ini bisa mengkonsolidasikan potensi ilmuwan-ilmuwannya, dan agar bisa memberikan informasi seluas-luasnya tentang I-4, demi memotivasi rasa percaya diri sebagai bangsa yang sebenarnya cerdas dan berkemampuan tinggi.

Ekspedisi Sungai Nil

Sungai Nil memang selalu menarik untuk diangkat entah dalam sebuah tulisan atau sebuah film. Sudah banyak sekali ditemukan catatan-catatan yang mengangkat tema Sungai Nil. Hanya dengan mengetik “nil” di komputer, mesin pencari Google akan memberikan banyak sekali referensi mengenai sungai yang menghidupi seluruh rakyat Mesir dan kawasan Afrika di sekitarnya itu.
Sampai di perkampungan Nubian, kami disambut oleh penduduk desa dengan sangat ramah.

Kali ini perjalanan wisataku sampai di sebuah kota yang sangat dekat dengan negara Sudan yang bernama Aswan. Aswan terkenal dengan bendungan air yang menjadi pusat penghasil listrik yang memasok seluruh wilayah di Mesir bernama Saddul ‘Ali yang dibangun oleh Uni Soviet dan Amerika Serikat. Aswan juga terkenal dengan pelopor wisata yang bernama Abu Simbel yakni empat patung besar Fir’aun Ramsis II yang diukir di sebuah gunung batu dan dulunya berada di tengah-tengah Sungai Nil.

Jam 3 sore menjadi waktu yang tepat untuk menikmati keindahan Sungai Nil yang masih murni. Ekspedisi kali ini tidak hanya melihat sunset tetapi mengarungi panjangnya Sungai Nil menuju ke sebuah desa terpencil yang disebut sebagai Pulau Nubian. Golongan Nubian memiliki tempat istimewa dan mendapatkan perlakuan yang istimewa dari pemerintah Mesir.

Untuk bisa mencapai Pulau Nubian, kami harus menaiki perahu dari pusat kota Aswan dan perjalanan ke sana harus mampu melawan arus derasnya Sungai Nil. Sungai Nil di Aswan menjadi satu-satunya aliran sungai yang masih dipenuhi oleh bebatuan. Berbeda dengan di Luxor dan Kairo yang sudah terlihat luas karena tidak adanya batu ditengah sungai. Bahkan, banyak sekali restoran dan hotel yang berdiri di gundukan tanah yang berada di tengah sungai. Pemandangan Indah akan semakin terlihat pada malam hari.

Perjalanan sekitar satu jam menuju Pulau Nubian menemukan kami dengan penduduk yang ternyata sangat berbeda dengan penduduk di Kairo dan beberapa kota di Mesir. Umumnya orang Mesir berkulit putih, tetapi semua penduduk Nubian berkulit hitam layaknya orang Afrika.

Penduduk Nubian memiliki bahasa sendiri yang sangat berbeda dengan bahasa Arab. Salah satu contoh bahasa mereka yang masih aku rekam adalah sebagai berikut :

Ekinaira: Siapa namamu?

Aigi… : Namaku …

Er raigrey: Gimana kabarnya?

Ai raigerry: Aku baik-baik saja

Ini adalah sedikit bahasa mereka yang memang sangat jauh berbeda dengan bahasa arab yang menjadi bahasa sehari-hari masyarakat Mesir. Tetapi, hampir semua orang Nubian juga mampu berbahasa arab, berbeda dengan orang mesir yang belum tentu mampu berbahasa Nubi.

Kami menggunakan dua perahu karena jumlah rombongan yang lumayan banyak, sekitar 40 orang. Saat kami melewati arus sungai yang cukup deras, mesin kapal tidak mampu melawan arus sungai hingga akhirnya harus meminta bantuan kapal lain untuk mendorongnya. Arus sungai di Aswan memang tergolong sangat deras dan sangat membahayakan untuk orang berenang.

Sampai di perkampungan Nubian, kami disambut oleh penduduk desa dengan sangat ramah. Memasuki rumah kami langsung dibuatkan teh dan tuan rumah memanggil salah satu orang kampung untuk bermain musik bersama kami, musik ala Nubian dengan memakai rebana tradisional. Kami berjoget dan tertawa bersama dalam aliran nada yang dibawakan oleh sang penyanyi yang berkulit gelap.

Capek bernyanyi dan menari, tuan rumah memperlihatkan kami dengan hewan peliharaannya, buaya. Mereka juga menjelaskan kalau di Sungai Nil di kawasan Aswan yang berdekatan dengan Abu Simbel masih banyak sekali buaya liar dan itu dilindungi oleh pemerintah Mesir. Buaya yang mereka pelihara adalah salah satu buaya yang diambil dari sana, namun ketika umurnya nanti sudah mencukupi, pemerintah Mesir akan mengambil buaya itu kembali dan melepasnya di alam bebas di Sungai Nil Aswan.

Tuan rumah juga menyediakan jasa tato dengan khas gambar-gambar dari tulisan herogliph. Satu kali tato membayar 15 pound Mesir. Banyak teman-teman dari Rusia yang mentato lengannya sebagai kenang-kenangan.

Pulau Nubian memang menjadi salah satu tujuan wisata wajib untuk para turis yang berkunjung ke Aswan. Saking perhatiannya pemerintah Mesir terhadap golongan Nubian, pemerintah mendirikan sebuah museum khusus yang bernama Nubian Museum yang berada di Aswan dan dekat pusat kota. Museum Nubian memuat sisa-sisa sejarah golongan Nubi dan menceritakan proses berkembangnya bangsa Nubi mulai pada masa pemerintahan fir’aun hingga Nubi berada di bawah kekuasaan Islam yang berada di bawah kendali Turki Utsmani.

Sekadar tambahan informasi juga, salah satu permaisuri Fira’un Ramsis II yang bernama Nefertari yang patungnya diabadikan di Abu Simbel juga berasal dari bangsa Nubian.

Ekspedisi menyusuri Sungai Nil menuju ke sebuah pulau yang lumayan jauh dari keramaian memang sangat menyenangkan. Sampai di Hotel Sarah tempat kami menginap yang berada di atas gurun, terlihat banyak sekali lampu dari jauh berkelip dari para golongan Nubian. Semakin malam, pemandangan itu semakin indah. (Bisyri Ichwan)

350 Beasiswa ADS ke Australia!

Beasiswa Pembangunan Australia atau Australian Development Scholarships (ADS) kembali menawarkan kesempatan bagi para pelajar Indonesia untuk studi tingkat pascasarjana di Australia. Seperti tahun sebelumnya, ADS pada tahun ajaran 2010/2011 ini menyediakan sebanyak 350 beasiswa.

Kandidat harus memilih bidang studi yang tersedia di antara salah satu dari empat area prioritas pembangunan. Di Indonesia, program beasiswa ADS tersedia di dalam tiga kategori, yaitu sektor "Public", "Open", dan "Targeted".

Pelamar kategori "Public" adalah pegawai di departemen-departemen pemerintah, universitas negeri, serta BUMN, termasuk pegawai non-PNS. Lamaran harus terlebih dahulu disetujui oleh divisi pelatihan atau Biro Kerjasama Luar Negeri (BKLN) yang terdapat pada tingkat daerah maupun nasional di dalam institusi pelamar sebelum diserahkan.

Pelamar kategori "Open" adalah mereka yang bekerja di institusi swasta, termasuk institusi pendidikan swasta, yang dapat melamar secara bebas untuk beasiswa dari kategori ini. Selain terdapat beberapa kriteria seleksi dan persyaratan yang mungkin diberlakukan, pada sektor ini pelamar tidak memerlukan persetujuan dari pemerintah terlebih dahulu.

Pegawai negeri sipil tidak dapat melamar di kategori "Open". Beasiswa disediakan untuk program studi master dan doktor secara penuh waktu di berbagai institusi perguruan tinggi di Australia. Program beasiswa ini menyediakan program persiapan bahasa dan akademik yang dapat mencapai waktu sembilan bulan. Pelamar perempuan dan kandidat yang berasal dari provinsi-provinsi yang menjadi fokus perencanaan strategis AusAID sangat diprioritaskan.

Sementara itu, pelamar pada kategori "Targeted" adalah mereka yang bekerja di lembaga-lembaga terkait dengan program-program AusAID atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan AusAID, termasuk organisasi pemerintah, BUMN, LSM, organisasi masyarakat (ormas), dan institusi perguruan tinggi milik pemerintah maupun swasta yang berperan penting dalam menyediakan kebutuhan pelatihan bagi lembaga-lembaga tersebut.

Pelamar yang memenuhi syarat akan dinominasikan dengan bantuan konsultan SDM dari kantor ADS yang bekerja sama dengan lembaga-lembaga target tersebut. Nominasi pelamar wajib difasilitasi oleh Australian Team Leader (ATL) atau perwakilan lain yang ditunjuk di dalam sebuah kegiatan AusAID.

Selengkapnya mengenai informasi pendaftaran, syarat, dan skema beasiswa bisa dilihat dan diunduh di situs ADS, batas pengiriman aplikasi sampai 27 Agustus 2010 mendatang.

Beasiswa Universitas Qarawiyyin Maroko 2010

Bagi teman-teman yang berminat melanjutkan studi keislaman di Maroko, perlu diketahui bahwa pada tanggal 22 April 2010, Ketum PBNU telah bertemu dengan Duta Besar Maroko di Jakarta Mr. Mohammed Majdi, yang membahas pemberian beasiswa (biaya kuliah, asrama, logistik, dan uang saku) dari Kementerian Wakaf dan Urusan Keislaman Maroko, khususnya Universitas Qarawiyyin dan Pendidikan Tradisional (at-Ta'liim al-Atiiq) di Masjid Qarawiyyin, kepada 10-15 warga NU.

Silakan kontak (via Facebook) mahasiswa Indonesia yang saat ini hampir menyelesaikan S3 di Maroko, yaitu Saudara Arwani Syaerozi atau segera hubungi Direktur Pusat Kerjasama Timur Tengah PBNU Bapak Ahmad Ridho.

Mohon informasi ini bisa disebarluaskan.

Beasiswa Universitas Afrika Internasional Khartoum Sudan 2010

Seleksi Beasiswa Universitas Afrika Internasional Khartoum Sudan program S1 tahun akademik 2010-2011, dengan hormat kami sampaikan hal-hal sebagai berikut :

Seleksi akan diadakan pada hari Selasa dan Rabu, tanggal 18 dan 19 Mei 2010.Teknis pendaftaran dan pelaksanaan seleksi dapat diakses pada website Departemen Agama
Waktu dan tempat pendaftarannya dimulai sejak tanggal 19 April sampai 14 Mei di STAIN/IAIN/UIN seluruh Indonesia pada jam-jam kerja.

Persyaratan dan ketentuan mengikuti seleksi adalah sebagai berikut:
Warga Negara RI yang beragama Islam.
Mengisi formulir yang disediakan oleh panitia.
Pas photo berwarna ukuran 3x4 sebanyak 2 lembar.
Melampirkan salinan ijazah Madrasah Aliyah Negeri atau Swasta.
Usia ijazah tidak lebih dari 2 (dua) tahun.
Bagi yang belum memiliki ijazah (STTB), harus melampirkan surat keterangan lulus dari sekolah.
Berijazah Pondok Pesantren yang mu'adalah (akreditasi) ijazahnya dengan Tsanawiyah (SLTA) Al-Azhar masih berlaku sampai sekarang.
Semua persyaratan diserahkan dalam dua rangkap.


Ada pun materi yang akan diujikan adalah:
Ujian Tulis berbahasa Arab yang meliputi: bahasa Arab (pemahaman teks, tata bahasa dan insya') dan Pengetahuan Agama Islam.
Ujian Lisan dengan bahasa Arab, meliputi: bahasa Arab (percakapan, terjemah dan pemahaman teks) dan hafalan/bacaan Al-Qur'an minimal 2 juz.
Bagi peserta seleksi yang memilih bidang studi umum akan mengikuti materi ujian bahasa Inggris.

Informasi lainnya, bisa Anda lihat di situs Direktorat Jenderal Pendidikan Islam.