Dalam Acara Pelantikan DPD PPMI Tanta

Pelantikan Dewan Pengurus Daerah Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia di Tanta, Mesir.

Ma'radh Cafe

Meeting Manajemen Haita CafRest.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Gallery Burgal Van Jogja

Haita CafeRestoran bersama Burgal Van Jogja.

Cafe Istad

Cafe Istad Tanta with Friends.

Penyair Legendaris Indonesia

Puisi-puisi "Si Binatang Jalang" Chairil Anwar telah menjadi inspirasi bagi perjuangan kemerdekaan bangsanya. Pria kelahiran Medan, 26 Juli 1922, ini seorang penyair legendaris Indonesia yang karya-karyanya hidup dalam batin (digemari) sepanjang zaman. Salah satu bukti keabadian karyanya, pada Jumat 8 Juni 2007, Chairil Anwar, yang meninggal di Jakarta, 28 April 1949, masih dianugerahi penghargaan Dewan Kesenian Bekasi (DKB) Award 2007 untuk kategori seniman sastra. Penghargaan itu diterima putrinya, Evawani Alissa Chairil Anwar.

Chairil memang penyair besar yang menginspirasi dan mengapresiasi upaya manusia meraih kemerdekaan, termasuk perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan. Hal ini, antara lain tercermin dari sajaknya bertajuk: "Krawang-Bekasi", yang disadurnya dari sajak "The Young Dead Soldiers", karya Archibald MacLeish (1948).

Dia juga menulis sajak "Persetujuan dengan Bung Karno", yang merefleksikan dukungannya pada Bung Karno untuk terus mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945.

Bahkan sajaknya yang berjudul "Aku" dan "Diponegoro" juga banyak diapresiasi orang sebagai sajak perjuangan. Kata Aku binatang jalang dalam sajak Aku, diapresiasi sebagai dorongan kata hati rakyat Indonesia untuk bebas merdeka.

Chairil Anwar yang dikenal sebagai "Si Binatang Jalang" (dalam karyanya berjudul Aku) adalah pelopor Angkatan '45 yang menciptakan trend baru pemakaian kata dalam berpuisi yang terkesan sangat lugas, solid dan kuat. Dia bersama Asrul Sani dan Rivai Apin memelopori puisi modern Indonesia. Chairil Anwar meninggal dalam usia muda karena penyakit TBC dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Hari meninggalnya diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.

Chairil menekuni pendidikan HIS dan MULO, walau pendidikan MULO-nya tidak tamat. Puisi-puisinya digemari hingga saat ini. Salah satu puisinya yang paling terkenal sering dideklamasikan berjudul Aku ( "Aku mau hidup Seribu Tahun lagi!"). Selain menulis puisi, ia juga menerjemahkan karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia. Dia juga pernah menjadi redaktur ruang budaya Siasat “Gelanggang” dan Gema Suasana. Dia juga mendirikan “Gelanggang Seniman Merdeka” (1946).

Kumpulan puisinya antara lain: Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (1949); Deru Campur Debu (1949); Tiga Menguak Takdir (1950 bersama Asrul Sani dan Rivai Apin); Aku Ini Binatang Jalang (1986); Koleksi sajak 1942-1949", diedit oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986); Derai-derai Cemara (1998). Buku kumpulan puisinya diterbitkan Gramedia berjudul Aku ini Binatang Jalang (1986).

Karya-karya terjemahannya adalah: Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948, Andre Gide); Kena Gempur (1951, John Steinbeck).

Sementara karya-karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman dan Spanyol adalah: "Sharp gravel, Indonesian poems", oleh Donna M. Dickinson (Berkeley, California, 1960); "Cuatro poemas indonesios, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati" (Madrid: Palma de Mallorca, 1962); Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York, New Directions, 1963); "Only Dust: Three Modern Indonesian Poets", oleh Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969);

The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Burton Raffel (Albany, State University of New York Press, 1970); The Complete Poems of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Liaw Yock Fang, dengan bantuan HB Jassin (Singapore: University Education Press, 1974); Feuer und Asche: sämtliche Gedichte, Indonesisch/Deutsch oleh Walter Karwath (Wina: Octopus Verlag, 1978); The Voice of the Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, oleh Burton Raffel (Athens, Ohio: Ohio University, Center for International Studies, 1993)

Sedangkan karya-karya tentang Chairil Anwar antara lain:
1) Chairil Anwar: memperingati hari 28 April 1949, diselenggarakan oleh Bagian Kesenian Djawatan Kebudajaan, Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan (Djakarta, 1953); 2) Boen S. Oemarjati, "Chairil Anwar: The Poet and his Language" (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1972); 3) Abdul Kadir Bakar, "Sekelumit pembicaraan tentang penyair Chairil Anwar" (Ujung Pandang: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu Sastra, Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin, 1974); 4) S.U.S. Nababan, "A Linguistic Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and Chairil Anwar" (New York, 1976); 5) Arief Budiman, "Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan" (Jakarta: Pustaka Jawa, 1976);

6) Robin Anne Ross, Some Prominent Themes in the Poetry of Chairil Anwar, Auckland, 1976; 7) H.B. Jassin, "Chairil Anwar, pelopor Angkatan '45, disertai kumpulan hasil tulisannya", (Jakarta: Gunung Agung, 1983); 8) Husain Junus, "Gaya bahasa Chairil Anwar" (Manado: Universitas Sam Ratulangi, 1984); 9) Rachmat Djoko Pradopo, "Bahasa puisi penyair utama sastra Indonesia modern" (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985); 10) Sjumandjaya, "Aku: berdasarkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar (Jakarta: Grafitipers, 1987); 11) Pamusuk Eneste, "Mengenal Chairil Anwar" (Jakarta: Obor, 1995); 12) Zaenal Hakim, "Edisi kritis puisi Chairil Anwar" (Jakarta: Dian Rakyat, 1996).

Tokoh Indonesia

Maestro Seni Lukis Realistik Indonesia

Barli Sasmitawinata adalah seorang maestro seni lukis realistik. Pria yang lahir di Bandung 18 Maret 1921 itu menjadi pelukis berawal atas permintaan kakak iparnya, tahun 1935, Sasmitawinata, agar Barli memulai belajar melukis di studio milik Jos Pluimentz, seorang pelukis asal Belgia yang tinggal di Bandung.

Barli lalu banyak belajar melukis alam benda dan dia adalah satu-satunya murid pribumi di studio tersebut. Di studio itu Barli banyak belajar mengenal persyaratan melukis.

Barli dilatih secara intensif melihat objek karena realistik masih sangat populer ketika itu. Pluimentz sang guru, pun selalu berkata, cara melihat seniman dan orang biasa harus berbeda. Orang biasa tidak mampu melihat aspek artistik sesuatu benda sebagaimana seniman.

Barli di kemudian hari belajar kepada Luigi Nobili, pelukis asal Italia. Di studio ini pula Barli mulai berkenalan dengan Affandi, yang waktu itu masih mencari uang dengan menjadi model bagi Luigi. Di studio milik Luigi Nobilo itu diam-diam Affandi ikut belajar melukis.

Bersama Affandi, Hendra Gunawan, Soedarso, dan Wahdi Sumanta, Barli Sasmitawinata membentuk “Kelompok Lima Bandung”. Kelompok itu dibentuk berawal dari kekaguman yang sangat dari seorang Barli dan ketiga temannya terhadap Affandi. Hubungan di antara kelima anggota kelompok akhirnya terbentuk menjadi seperti saudara saja. Kalau melukis kemana-mana selalu bersama-sama. Termasuk kesempatan perjalanan Barli hingga ke Bali.

Barli di tahun 1948 pernah mendirikan Sanggar Seni Rupa Jiwa Mukti. Lalu, sepulang dari Eropa, di tahun 1958 Barli kembali mendirikan studio Rangga Gempol. Sekarang Barli memiliki Bale Seni Barli di Padalarang. Barli menyebutkan sebuah cita-cita yakni ingin punya murid yang tidak saja pandai menggambar tetapi bisa hidup bersama dengan yang lain.

Barli adalah pelukis sekaligus guru. Sudah banyak mahasiswa yang dia ajar di Institut Teknologi Bandung (ITB) maupun murid yang dia bimbing di sanggar seni miliknya, tumbuh menjadi seniman mandiri. Beberapa di antara mantan mahasiswa dan murid itu terkadang ada yang mengabaikan Barli sebagai guru. Namun, yang membanggakan hati dia, tokoh semacam AD Pirous tetap mengakui Barli sebagai salah seorang guru.

Selain AD Pirous, ada pula beberapa muridnya yang kini dikenang sebagai pelukis yang berkarakter, seperti (almarhum) Huang Fong. Atau, Chusin Setiadikara yang tetap memelihara bekal seni realistiknya tetapi menempuh jalan sulit untuk membuatnya menjadi seni yang terus bisa bermakna di tengah percaturan berbagai gaya dan kecenderungan seni yang baru.

Perjalanan karir lukis Barli dimulai sejak tahun 1930-an sebagai ilustrator terkenal di Balai Pustaka, Jakarta. Dia juga dipakai sebagai ilustrator untuk beberapa koran yang terbit di Bandung. Keterampilan tersebut masih berlanjut di tahun 1950-an saat dia sudah melangglang buana ke mancanegara. Yakni, ketika Barli diangkat menjadi ilustrator pada majalah De Moderne Boekhandel di Amsterdam, dan majalah Der Lichtenbogen di Recklinghausen, Jerman. Barli adalah contoh pelukis dan guru yang mendapatkan pendidikan secara baik sejak usia remaja sampai kemudian dia berkesempatan belajar ke Perancis dan Belanda.

Kesempatan Barli studi sekaligus berkiprah di benua Eropa berawal di tahun 1950 tatklala dia mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Belanda untuk belajar di Academie Grande de la Chaumiere, Paris, Perancis. Barli masih meneruskan studi di Rijksacademie voor Beeldende Kunsten, Amsterdam, Belanda, sampai tahun 1956. Karena kiprah kepelukisannya yang sedemikian panjang, kritikus seni Jim Supangkat dalam bukunya “Titik Sambung” menempatkan Barli Sasmitawinata sebagai ’titik sambung’ dua gugus perkembangan seni lukis Indonesia: seni lukis masa kolonial dan seni lukis modern Indonesia.

Dijelaskan oleh Jim, di satu sisi Barli dapat dilihat sebagai meneruskan perkembangan seni lukis masa kolonial. Tetapi di sisi lain Barli merupakan bagian dari pertumbuhan seni lukis modern Indonesia yang menentang seni lukis masa kolonial itu sendiri.

Pemerintah RI tampak sangat peduli atas perjalanan karir maestro seni lukis realistik Indonesia ini. Bertepatan dengan hari lahirnya pada 18 Maret 2004 beberapa karya lukisnya dipamerkan di Galeri Nasional, Jakarta. Termasuk dipamerkan sebuah lukisan yang Barli selesaikan hanya beberapa hari sebelum ulang tahunnya ke-83, berukuran lebih dari dua meter kali dua meter. Pembukaan pameran dilakukan langsung oleh Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata, I Gede Ardika, berlangsung sejak 18 hingga 31 Maret 2004.

Bahkan, PT Pos Indonesia turut menunjukkan penghargaan yang sangat tinggi kepada seniman besar kelahiran Bandung itu. Pos Indonesia khusus menerbitkan prangko yang bergambar reproduksi lukisan Potret Diri, sebuah lukisan terkenal yang Barli buat di tahun 1974.

Bersamaan perayaan ulang tahun ke-83 itu diluncurkan pula sebuah buku karangan Nakisbandiah, istri kedua Barli setelah istri pertama meninggal dunia 11 Juli 1991, berjudul “Kehidupanku Bersama Barli”. Barli pertamakali menikahi (almarhumah) Atikah Basari di Pager Ageung tahun 1946 pada saat masih berada di dalam pengungsian karena perang.

Pernikahan pertama itu dikaruniai dua orang anak bernama Agung Wiwekakaputera dan Nirwati Chandra Dewi. Barli lalu kembali menikah saat usia sudah 71 tahun, kali itu dengan Nakisbandiah yang masih tetap setia mendampingi hidupnya. Hasil pernikahan Nakisbandiah sebelumnya dengan (almarhum) D Mawardi dikaruniai empat orang putri, yaitu Kartini, Sartika, Mia Meutia (meninggal tahun 1977), dan Indira. Maka, secara keseluruhan keluarga Barli memiliki 15 cucu dan enam orang buyut.

Barli berperan cukup besar menularkan ilmu kepada murid-muridnya. Entah di kampusnya mengajar ITB Bandung maupun di sanggar seninya. Barli adalah contoh pelukis dan guru yang mendapatkan pendidikan secara baik sejak usia remaja sampai kemudian belajar seni lukis ke Perancis hingga Belanda.

Di Eropa Barli memperoleh banyak prinsip-prinsip melukis anatomi secara intensif. Pelajaran anatomi, untuk pelukis sangat melihat otot-otot yang ada di luar bukan otot yang di dalam. Pernah, selama dua tahun di Eropa Barli setiap dua jam dalam sehari hanya menggambar nude (orang telanjang) saja, sesuatu yang tidak pernah dipersoalkan pantas atau tidak di sana sebab jika untuk kepentingan akademis hal itu dianggap biasa.

Barli menyebutkan, seseorang lulusan dari akademis menggambar orang seharusnya pasti bisa sebab penguasaan teknis akan merangsang inspirasi. Dia mencontohkan pengalaman saat belajar naik sepeda sulit sekali sebab salah sedikit saja pasti jatuh. Namun saat sudah menguasai teknis bersepeda sesorang bisa terus mengayuh sambil pikiran bisa kemana-mana. Melukis pun demikian, jika sudah mengetahui teknisnya maka adalah pikiran dan perasaan pelukis yang jalan.

Walau pelukis realistik Barli mengaku cukup mengerti abstrak sebab menurutnya seni memang abstrak. Seni adalah nilai. Setiap kali melihat karya yang realistik Barli justru tertarik pada segi-segi abstraksinya. Seperti segi-segi penempatan komposisi yang abstrak yang tidak bisa dijelaskan oleh pelukisnya sendiri.

Barli menyebutkan pula, pelukis yang menggambar realistik sesungguhnya sedang melukiskan meaning. Dicontohkannya lagi, kalau melihat seorang kakek maka dia akan tertarik pada umurnya, kemanusiaannya. Sehingga pastilah dia akan melukiskannya secara realistik sebab soal umur tidak bisa dilukiskan dengan abstrak. Menggambarkan penderitaan manusia lebih bisa dilukiskan dengan cara realistik daripada secara abstrak.

Pelukis Barli Sasmitawinata meninggal pada Kamis 8 Februari 2007 sekitar pukul 16.25 di Rumah Sakit Advent, Bandung pada usia 86 tahun. Jenazah disemayamkan di Museum Barli, Jl. Sutami , Kota Bandung.

Menurut Hendra (32), Guru Gambar di Bale Seni Barli, Barli dibawa ke RS Advent pada hari ini pukul 9.00 karena muntah-muntah. Ia meninggal pada pukul 16.25 dan dibawa ke rumah duka pukul 17.30. Banyak kerabat yang berdatangan untuk melayat. Dimakamkan pada Jumat (9/2/2007) di Taman Makam Pahlawan Cikutra.

Sebelumnya Barli dirawat di rumah sakit selama sebulan karena sakit usia lanjut. Baru Minggu (4/2/2007) Barli pulang kembali ke rumahnya. Selama di rumah, Barli sempat beramanat agar keluarga besar Bale Seni Barli memelihara lembaga pendidikan seni tersebut.

Barli juga sempat melukis. Sehari sebelum meninggal ia masih meneruskan lukisannya di kamar. Lukisan yang belum selesai itu masih belum diberi judul. Suami dari Alm Atikah Basari dan Ratu Nakisbandiah ini meninggalkan dua anak Agung Wiwekakaputera dan Nirwati Chandra Dewi.

Tokoh Indonesia

Sastrawan Pujangga Baru

Amir Hamzah lahir sebagai seorang manusia penyair pada 28 Februari 1911 di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Utara. Ia seorang sastrawan Pujangga Baru. Pemerintah menganugerahinya Pahlawan Nasional. Anggota keluarga kesultanan Langkat bernama lengkap Tengku Amir Hamzah Indera Putera, ini wafat di Kuala Begumit, 20 Maret 1946 akibat revolusi sosial di Sumatera Timur.

Sebagai seorang keluarga istana (bangsawan), ia memiliki tradisi sastra yang kuat. Menitis dari ayahnya, Tengku Muhammad Adil, seorang pangeran di Langkat, yang sangat mencintai sejarah dan sastra Melayu. Sang Ayah (saudara Sultan Machmud), yang menjadi wakil sultan untuk Luhak Langkat Bengkulu dan berkedudukan di Binjai, Sumatra Timur, memberi namanya Amir Hamzah adalah karena sangat mengagumi Hikayat Amir Hamzah.

Sejak masa kecil, Amir Hamzah sudah hidup dalam suasana lingkungan yang menggemari sastra dan sejarah. Ia bersekolah di Langkatsche School (HIS), sekolah dengan tenaga pengajar orang-orang Belanda. Lalu sore hari, ia belajar mengaji di Maktab Putih di sebuah rumah besar bekas istana Sultan Musa, di belakang Masjid Azizi Langkat.

Setamat HIS, Amir melanjutkan studi ke MULO di Medan, tapi tidak sampai selesai. Ia pindah ke MULO di Jakarta. Di Jawa perkembangan kepenyairannya makin terbentuk. Apalagi sejak sekolah di Aglemeene Middelbare School (AMS) jurusan Sastra Timur di Solo, Amir menulis sebagian besar sajak-sajak pertamanya. Di sini ia memperkaya diri dengan kebudayaan modern, kebudayaan Jawa, dan kebudayaan Asia lainnya.

Kegemaran dan kepiawian menulis saja itu berlanjut hingga saat ia melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta. Dalam kumpulan sajak Buah Rindu yang ditulis antara tahun 1928 dan t1935, tapak perubahan lirik pantun dan syair Melayunya menjadi sajak yang lebih modern.

Tahun 1931, ia telah memimpin Kongres Indonesia Muda di Solo. Pergaulannya dengan para tokoh pergerakan nasional itu telah mewarnai dunia kesusasteraannya. Sebagai sastrawan dan melalui karya-karyanya yang ditulis dalam bahasa Indonesia, Amir telah memberikan sumbangan besar dalam proses perkembangan dan pematangan bahasa Melayu menjadi bahasa nasional Indonesia. Dalam suratnya kepada Armijn Pane pada bulan November 1932, ia menyebut bahasa Melayu adalah bahasa yang molek.

Bagi Amir, Bahasa Indonesia adalah simbol dari kemelayuan, kepahlawanan dan keislaman. Hal ini tercermin dari syair-syair Amir yang merupakan refleksi dari relijiusitas, dan kecintaannya pada ibu pertiwi serta kegelisahan sebagai seorang pemuda Melayu.

Secara keseluruhan ada sekitar 160 karya Amir yang berhasil dicatat. Di antaranya 50 sajak asli, 77 sajak terjemahan, 18 prosa liris asli, 1 prosa liris terjemahan, 13 prosa asli dan 1 prosa terjemahan. Karya-karyanya tercatat dalam kumpulan sajak Buah Rindu, Nyanyi Sunyi, Setanggi Timur dan terjemah Baghawat Gita.

Ia memang seorang penyair hebat. Perintis kepercayaan diri para penyair nasional untuk menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia, sehingga semakin meneguhkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Amir seorang enyair besar Pujangga Baru, yang kepenyairannya membuat Bahasa Melayu-Indonesia mendapat suara dan lagu yang unik yang terus dihargai hingga saat ini. Ia penyair yang tersempurna dalam bahasa Melayu-Indonesia hingga sekarang.

Amir adalah tiga sejoli bersama Armijn Pane dan SutanTakdir Alisyahbana, yang memimpin Pujangga Baru. Mereka mengelola majalah yang menguasai kehidupan sastera dan kebudayaan Indonesia dari tahun 1933 hingga pecah perang dunia kedua. Pemerintah RI kemudian mengapresiasi jasa dan sumbangsih Amir Hamzah ini dengan menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1975.

Selain itu, penghargaan atas jasa Amir Hamzah terlihat dari penggunaan namanya sebagai nama gedung pusat kebudayaan Indonesia di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur, dan nama masjid di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Namun akhir hidup penyair yang juga pengikut tarekat Naqsabandiyah ini ternyata berakhir tragis. Setelah pada 29 Oktober 1945, Amir diangkat menjadi Wakil Pemerintah Republik Indonesia untuk Langkat yang berkedudukan di Binjai (saat itu Amir adalah juga Pangeran Langkat Hulu di Binjai), kemudian terjadi revolusi sosial pada Maret 2006. Sasarannya adalah keluarga bangsawan yang dianggap feodal dan kurang memihak kepda rakyat, termasuk Amir Hamzah.

Amir Hamzah meninggal akibat revolusi sosial di Sumatera Timur itu, justru pada awal kemerdekaan Indonesia. Kala itu, ia hilang tak tentu rimbanya. Mayatnya ditemukan di sebuah pemakaman massal yang dangkal di Kuala Begumit. Konon, ia tewas dipancung hingga tewas tanpa proses peradilan pada dinihari, 20 Maret 1946, dalam usia yang relaif mati muda, 35 tahun. Ia dimakamkan di pemakaman mesjid Azizi, Tanjung Pura, Langkat. Di makamnya terukir dua buah syairnya.

Pada sisi kanan batu nisan, terpahat bait sajak;

Bunda, waktu tuan melahirkan beta
Pada subuh embang cempaka

Adalah ibu menaruh sangka
Bahwa begini peminta anakda
Tuan aduhai mega berarak
Yang meliputi dewangga raya

Berhentilah tuan di atas teratak
Anak Langkat musafir lata

Pada sisi kiri batu nisannya, terpahat ukiran bait sajak:

Datanglah engkau wahai maut
Lepaskan aku dari nestapa

Engkau lagi tempatku berpaut
Di waktu ini gelap gulita
Sampaikan rinduku pada adinda

Bisikkan rayuanku pada juita
Liputi lututnya muda kencana
Serupa beta memeluk dia

Apa kesalahannya sehingga ia diperlakukan seperti itu? 'Kesalahannya' hanya karena ia lahir dari keluarga istana. Pada saat itu sedang terjadi revolusi sosial yang bertujuan untuk memberantas segala hal yang berbau feodal dan feodalisme. Banyak para tengku dan bangsawan istana yang dibunuh saat itu, termasuk Amir Hamzah.

Tokoh Indonesia

Keutamaan dan Amalan-Amalan Malam Nishfu Syaban

Keutamaan Malam Nishfu Syaban

Keutamaan malam Nishfu Sya‘ban sebagaimana dijelaskan dalam hadits shahih dari Mu‘az bin Jabal Radhiallahu ‘anhu, bersabda Rasulullah Saw. yang artinya: “Allah menjenguk datang kepada semua makhluk-Nya di Malam Nishfu Sya‘ban, maka diampuni segala dosa makhluk-Nya kecuali orang yang menyekutukan Allah dan orang yang bermusuhan.” (HR. Ibnu Majah, at-Thabrani dan Ibnu Hibban)

Begitu juga dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah RA., beliau berkata: "Suatu malam Rasulullah Saw shalat, kemudian beliau bersujud panjang, sehingga aku menyangka bahwa Rasulullah Saw telah diambil, karena curiga maka aku gerakkan telunjuk beliau dan ternyata masih bergerak. Setelah Rasulullah Saw. selesai shalat beliau berkata: "Hai ‘Aisyah engkau tidak dapat bagian?". Lalu aku menjawab: "Tidak ya Rasulullah, aku hanya berfikiran yang tidak-tidak (menyangka Rasulullah telah tiada) karena engkau bersujud begitu lama". Lalu Rasulullah Saw. bertanya: "Tahukah engkau, malam apa sekarang ini?”. "Rasulullah yang lebih tahu", jawabku. "Malam ini adalah malam Nishfu Sya'ban, Allah mengawasi hambanya pada malam ini, maka Ia memaafkan mereka yang meminta ampunan, memberi kasih sayang mereka yang meminta kasih sayang dan menyingkirkan orang-orang yang dengki" (HR. Baihaqi). Menurut perawinya hadits ini mursal (ada rawi yang tidak sampai ke Sahabat), aka tetapi hadits ini cukup kuat.

Malam Nishfu Sya‘ban juga termasuk malam-malam yang dikabulkan doa. Imam asy-Syafi‘i dalam kitabnya al-Umm, berkata: “Telah sampai pada kami bahwa dikatakan: sesungguhnya doa dikabulkan pada lima malam, yaitu malam Jum’at, malam hari raya Idul Adha, malam hari raya ‘Idul fitri, malam pertama di bulan Rajab dan malam Nishfu Sya‘ban.”

Amalan-Amalan dalam Malam Nishfu Sya‘ban

Untuk menghidupkan Malam Nishfu Sya‘ban dapat kita lakukan dengan berbagai cara, tapi hal-hal tersebut dilakukan dengan cara-cara yang baik yang tiak bertentangan denga syri'at.

Di antara hal yang dianggap bid‘ah dan bertentangan dengan syariah oleh sebagaian ulama dalam malam Nishfu sya’ban itu adalah shalat sunat Nishfu Sya‘ban. Menurut sebagian ulama, shalat sunat Nishfu sya’ban sebenarnya tidak tsabit, tidak kuat dasar hukumnyadan dan tidak ada dalam ajaran Islam. Seperti Imam an-Nawawi dan Imam Ibnu Hajar telah menafikan adanya shalat sunat Nishfu Sya‘ban. Karena menurut beliau suatu shalat itu disyariatkan cukup sandarannya pada nash Al-Qur'an atau pada hadits nabi.

Jika seseorang itu masih juga ingin melakukan shalat pada malam Nishfu sya’ban, maka sebaiknya dia mengerjakan shalat-shalat sunat lain seperti sunat Awwabin (di antara waktu maghrib dan Isya'), shalat Tahajjud diakhiri dengan shalat Witir atau shalat sunat Muthlaq bukan khusus shalat sunat Nishfu Sya‘ban. Shalat sunat Muthlaq ini boleh dikerjakan kapan saja, baik pada Malam Nishfu Sya‘ban atau pada malam-malam lainnya.

Tapi ulama lain seperti Imam al-Ghazali dalam kitabnya al-Ihyaa’ (Juz 1 hal. 210) menyatakan bahwa shalat malam Nishfu sya’ban adalah sunat dan hal itu dilakukan pula oleh para ulama salaf. Bahkan para ulama salaf menamakan shalat tersebut sebagai shalat khair (shalat yang baik). Begitu juga ulama-ulama lain seperti al-Allamah al-Kurdi. Selain dalam kitab al-Ihyaa’ juga dalam kitab-kitab lain seperti Khaziinah al-Asraar (hal. 36), al-’Iaanah (Juz 1 hal. 210), al-Hawaasyi al-Madaniyyah (Juz 1 hal. 223), dan al-Tarsyiih al-Mustafiidiin (hal. 101).

Nah, terlepas dari ‘kontroversi’ tentang amalan-amalan pada malam Nishfu syaban khususnya tentang shalat Nishfu sya’ban yang dianggap bid’ah oleh sebagian ulama dan dianggap sunat oleh ulama lain, maka kita sangat dianjurkan untuk meramaikan malam Nishfu Sya'ban dengan cara memperbanyak ibadah, salat, dzikir membaca al-Qur'an, berdo'a dan amal-amal shalih lainnya seperti puasa pada siang harinya sebagaimana dicontohkan Rasulullah Saw. sehingga kita tidak termasuk orang-orang yang lupa akan kemuliaan bulan sya’ban ini. Wallah a’lam bishawab!

NU Online

Penggagas Ejaan Yang Disempurnakan

Mantan Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (kini Pusat Bahasa) Prof Dr Amran Halim seorang tokoh bahasa Indonesia, penggagas Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Mantan Rektor Universitas Sriwijaya, kelahiran Pasar Talo, Bengkulu, 25 Agustus 1929, ini meninggal dunia dalam usia 79 tahun, di Palembang, Sabtu 13 Juni 2009 pukul 11.40.

Menurut putri pertamanya, Frieda Agnani, Amaran, guru besar bahasa Indonesia, ini pernah menjabat sebagai Kepala Pusat Bahasa pada tahun 1970-an. Disebutkan, Amran Halim adalah penggagas pembakuan Bahasa Malaysia dan Bahasa Indonesia saat menjabat sebagai Ketua Majelis Bahasa Indonesia Malaysia (MBIM). Hasil pembakuan MBIM akhirnya juga digunakan untuk bahasa Brunei Darussalam. Amran juga ikut menyusun Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) setelah menjabat sebagai Ketua MBIM.

Amran Halim, tokoh bahasa yang juga guru besar Bahasa Indonesia, ini menjadi kepala Pusat Bahasa keenam yang pada awal dibentuknya pada 1 April 1975 bernama Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Setelah Amran Halim, Pusat Bahasa kemudian dipimpin Prof. Dr. Anton M. Moeliono, Drs Lukman Ali, Dr Hasan Alwi, dan kini (2009) dipimpin Dr Dendy Sugono.

Kemudian berdasarkan Keppres tahun 2000, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa berubah nama menjadi Pusat Bahasa. Lembaga ini berada di bawah naungan Sekretariat Jenderal Departemen Pendidikan Nasional.

Amran Halim adalah orang yang berjasa besar dalam pengembangan Bahasa Indonesia. Saat pemerintah menetapkan ejaan resmi Bahasa Indonesia yang diberi nama “Ejaan yang Disempurnakan” (EYD) berdasarkan Keputusan Presiden No.67 Tahun 1972, kemudian Menteri Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu Sjarif Thajeb membentuk Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia dengan ketua Amran Halim.

Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia yang dipimpin Amran Halim ini kemudian menyusun buku “Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan” yang tebalnya hanya 55 halaman, dicetak pertama kali tahun 1978 oleh penerbit Balai Pustaka. Buku berwarna putih dengan warna biru muda tempat meletakkan judulnya sudah beberapa kali mengalami cetak ulang.

Amran Halim yang hingga akhir hayatnya masih aktif di sejumlah organisasi di Sumsel, seperti menjabat Ketua Dewan Pertimbangan Pendidikan Daerah Sumsel, Dewan Kesenian Sumsel, dan kegiatan kepramukaan, semasa muda pernah bergabung dalam tentara pelajar. Atas perjuangannya tersebut pemerintah menganuegrahkan bintang gerilya. Ia pun berhak untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Ksatria Siguntang, Palembang.

Namun menurut Priada anak tertua almarhum, ayahnya pernah mengatakan tidak ingin mau dimakamkan di taman makam pahlawan. "Almarhum ingin tetap di makamkan di taman pemakaman umum Puncak Sekuning dekat makam ibu,” ujar Prida.

Amran Halim meninggal dunia di RS RK Charitas, Palembang, Sumatera Selatan, karena kanker paru. Sempat dirawat di RS RK Charitas selama 17 hari. Amran Halim meninggalkan seorang istri, Nuryanti Syafniar Amran (65), dan dua anak kandung, Frieda Agnani Amran (50) serta Davron Donny Amran (46), serta lima anak angkat, yaitu Anova Luska (42), Ribodesiana (41), Medika Azwar (37), Variantono (34), dan Agung Hakimolast (31). Hingga akhir hayat memiliki 11 cucu dari seluruh anak kandung dan anak angkatnya.

Tokoh Indonesia

I-4, Upaya Mengulang Kejayaan Ulama Nusantara

Tak disangka-sangka, rencana penyelenggaraan Workshop Internasional dan Sosialisasi Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional untuk wilayah Timur Tengah, Afrika dan Asia Selatan menuai respon yang sangat besar. Entitas ini berubah menjadi raksasa yang untuk memahaminya secara integral nyaris tidak bisa terwujud. Penilaiannya secara perspektif atau melihatnya dari angle tertentu lebih mengemuka dan menggempita di dunia maya elektronika. Pertama-tama adalah respon beberapa pembaca situs berita Detik.com terkait rencana penyelenggaraan acara ini. Ada satu dua pembaca yang mempertanyakan kapasitas atau kompetensi ilmuwan Timur Tengah –yang nota bene berlatar-belakang ilmu-ilmu keislaman- dalam mendiskusikan masalah terorisme. Lalu diikuti juga oleh beberapa elemen masisir lebih suka menengok ke belakang, mempertanyakan kembali keterwakilan koorodinator I-4 Timteng, Afrika dan Asia Selatan dalam organisasi para ilmuwan ini, sebagaimana ada juga yang melihat ketimpangan hubungan I-4 dengan organisasi induk masisir.

Kalau melihat judul dari acara ini, yakni sosialisasi, maka bisa dikatakan bahwa gegapnya respon terhadap acara ini menunjukkan target acara ini nyaris tercapai. Penulis sendiri dengan kapasitas sebagai Ketua Steering Committe, dalam rapat perdana panitia Workshop Internasional dan Sosialisasi I-4 kawasan Timur-Tengah, Afrika dan Asia Selatan, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sosialisasi adalah sejauh mana Masisir khususnya, dan masyarakat Indonesia di kawasan Timur Tengah, Afrika dan Asia Selatan pada umumnya, mengetahui apa itu I-4 baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

Kuantitatif maksudnya diraih jumlah yang maksimal dari obyek sasaran, sementara kualitatif maksudnya diraih pemahaman yang baik mengenai I-4. Respon-respon yang diarahkan kepada I-4 patut dipahami sebagai upaya memahami I-4 dengan baik. Barangkali Panitia harus lebih sabar meladeni respon-respon yang ada meskipun menurut pandangan mereka terkesan berbobot simpel dan insignificant.

Tidak bermaksud melebih-lebihkan konsep dan kerja koordinator berikut panitia yang menyertainya, tapi upaya untuk menyuguhkan apa dan bagaimana I-4 mulai dari sejarah berdirinya, rekonstruksi rancang bangun organsisai I-4 sampai target-target yang akan diraih untuk masa sekarang dan mendatang sudah digodog dengan cukup matang. Dalam sesi brainstorming misalnya, para stakeholders I-4, baik pusat maupun kawasan akan memaparkan dengan gamblang semua hal terkait dengan I-4.

Dalam sesi berikutnya, yakni keorganisasian I-4, akan dibahas mengenai bangunan organsisasi I-4, khususnya untuk kawasan Timur-Tengah, Afrika dan Asia Selatan. Di sinilah para peserta ditantang untuk membuat bangunan rumah I-4 yang kokoh, mempunyai visi ke depan yang jelas dan memberikan manfaat seluas-luasnya kepada masyarakat Indonesia. Kita sangat berharap peserta dari Mesir berperan aktif dan mewarnai dalam sesi ini karena di samping sebagai peserta mayoritas, mereka adalah tuan rumah sekaligus tumpuan harapan para generasi setelahnya.

Satu lagi yang tak luput dari bidikan jeli panitia adalah sesi futuristik, yakni pembahasan mengenai garapan unggulan I-4 Timteng dan Afrika. Pada sesi inilah para peserta ditantang untuk membuat program-program yang bersinergi dengan program-program I-4 di kawasan lain, atau lebih dari itu, mampu menyuguhkan program-program yang berkualitas tapi sarat dengan sumbangsih yang tinggi pada masyarakat Indonesia. Sesi ini bisa juga dikatakan sebagai upaya mengulang sejarah kejayaan para ulama Nusantara tempo doeloe, di mana ketika mereka bermukim di negeri orang, mereka berkumpul mengonsep pendidikan, kesejahteraan masyarakat, masa depan bangsa. Buah dari “ilmuwan-ilmuwan Nusantara tempo doeloe’ inilah yang merupakan cikal-bakal kemunculan pesantren-pesantren, metode-metode belajar mengajar, dan organisasi-organisasi masa, yang manfaatnya masih bisa kita rasakan sampai sekarang ini.

Sebagai bentuk realisasi dari kerja para ilmuwan, panitia juga menyediakan waktu yang cukup longgar untuk membahas dua tema krusial bagi negara kita, yakni Terorisme dan Human Trafficking. Sesi ini akan menjadi sangat menarik, karena dua tema yang menurut common sense sangat lekat dan erat dengan disiplin sosiologi umum akan dibahas oleh para ilmuwan yang berlatar-belakang ilmu-ilmu keislaman seperti Tafsir, Hadis, Dakwah Islamiyah, dan lain-lain. Lalu bagaimanakah para ilmuwan dengan latar belakang seperti itu akan membahas dua tema tersebut? Apakah dua tema tersebut sejatinya memang terkait dengan masalah-masalah keagamaan? Lagi-lagi sesi ini akan bertambah menarik, karena para ilmuwan muda dalam membahas masalah ini akan dipandu oleh guru besar yang berkompeten dalam bidang ini. Satu hal yang tentu akan mengingatkan kita akan dunia akademis yang kritis, konstruktif dan terarah.

Akhiran, di tengah derasnya respon yang beragam menanggapi acara ini, penulis berharap teman-teman panitia bisa menampung semua aspirasi Masisir demi kesuksesan acara ini pada khususnya, dan terbangunnya pemahaman utuh atas I-4 secara umum. Semoga Allah membalas kebaikan orang yang berkhidmah demi ilmu dan ulama dengan yang lebih baik. Dan semoga organisasi ini bias berkembang sebagai sunnah hasanah yang akan terus berproses, serta memberi manfaat seluas-luasnya kepada masyarakat Indonesia.

M. Saifuddin, M.A (Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional)

Bung Karno Sebagai Seorang Arsitek

Tahun 1933, sekitar bulan Februari, selepas Bung Karno keluar dari rumah tahanan, Ir. Rooseno mau mendirikan Biro Oktroi bersama Bung Karno. Rooseno kuat dalam hitung-hitungan struktur sementara Bung Karno jago dalam menggambar.

Banyak gedung yang dibuat oleh biro oktroi ini, termasuk sebuah rumah di Jalan Pangkur (dekat tempat tinggal Bung Karno) dan di Jalan Suniaradja, Bandung. Sebelum bersama Rooseno, Bung Karno mendirikan biro arsitek bersama Ir. Anwari, akan tetapi waktu semasa dengan Anwari, Bung Karno lebih sibuk dalam kancah politik. Walaupun begitu, beberapa rumah bisa dibangun bersama Anwari sekitar tahun 1926-1929, yang berkantor di rumah sewa Bung Karno, di Regentweg (Jalan Dewi Sartika).

Di Regentweg Bung Karno merancang beberapa rumah kecil, di saat itu dia mengeluh "aku ini berpikiran besar, tapi yang aku rancang rumah-rumah kecil", namun biarpun begitu rumah buatan Bung Karno banyak yang berdiri kokoh sampai sekarang, ini membuktikan kekuatan dan daya tahan rumah buatan Bung Karno sangat ampuh.

Kalo Anwari sedang menghitung, Bung Karno biasanya duduk-duduk di teras untuk menemui tamu-tamu yang banyak datang. Dan kalau sedak tidak ada uang, sementara Inggit masih di luar untuk berdagang jamu dan batik, Bung Karno kerap memanggil wartawan yang lewat. "Mau kemana?" teriak Bung Karno. Sang wartawan menoleh "cari berita". Bung Karno berteriak lagi "sudah sini saya buatkan tulisan" tak lama kemudian tulisan itu terbuat di meja teras Bung Karno, dan wartawan itu memberi honor langsung di tempat. Uang itu lantas dibelikan peuyeum untuk disuguhkan kepada para tamu Bung Karno. Sepanjang hidupnya, Bung karno tidak pernah tertarik pada uang, ia selalu tertarik pada "hubungan antar manusia".

Sebagai arsitek, Bung Karno dididik oleh Prof.Wolff Schoemaker, yang pernah terkesan akan daya imajinasi Bung Karno. Bangunan depan hotel Preanger yang sedang direnovasi, Bung Karno yang disuruh menyelesaikannya. Padahal saat itu Bung Karno belum lulus kuliah dan baru saja magang. Karena tidak punya uang, Bung Karno tidak seperti mahasiswa lain yang melanjutkan pendidikan arsitektur ke Delft tapi menyelesaikannya dengan magang.

Di kemudian hari, Bung Karno mengembangkan kemampuan arsiteknya dalam membentuk karakter bangsa. Bung Karno kurang menyukai detail-detail yang rumit dan kecil, tetapi sangat menyukai kepada yang besar, perkasa, dan bersifat monumental. Monumen Nasional adalah contoh jelas prinsip Bung Karno tersebut, menara yang relatif polos, namun tinggi menjulang di satu openspace raksasa kawasan Gambir telah menjadi landmark bagi Jakarta, sejajar dengan landmark negara lain seperti Statue of Liberty, Eiffel, Sidney Opera House, dll.

Bung Karno menyukai karya yang bersifat abadi, dan murni kreasi bangsa sendiri, bahkan kadang dekat dengan misteri alam dan misteri sosial. Bung Karno yang anti feodalisme senang mengamati alam, "berdialog" dengan alam dan berpikiran tanpa batas. Mungkin karena hal inilah, muncul ucapanya yang terkenal "Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit".

Bung Karno menyukai wayang, yang kadangkala mempengaruhi pribadi dan filosofinya. Sebagai anak desa yang tumbuh dalam budaya Jawa, ia tak terpengaruh untuk menjadi "rural-agraris". Pribadi yang halus, sopan namun tegas bertindak. Ia juga sangat menghargai harga barang seni yang diinginkannya, sehingga tidak mau membeli dengan harga murah, hanya karena ia seorang yang memiliki kedudukan tinggi.

Dibalik itu semua Bung Karno mengajarkan pada bangsa Indonesia untuk membangun dan melatih imajinasi. Bangsa yang memiliki daya imajinasi, maka bangsa itu menjadi besar. Namun sayang banyak orang tidak mengerti, termasuk sederetan mahasiswa-mahasiswa di tahun 1966, yang berteriak: kita membutuhkan nasi, bukan monumen. Bung Karno bilang, bahwa bangsa besar monumen adalah kehormatan, adalah martabat. Maka beliau bilang "monumen itu seperti celana" lalu mahasiswa-mahasiswa itu bilang "ada orang pikun, monumen dibilang celana".

Nyata-nyata, apa yang dipikirkan Bung Karno kita merasakannya sekarang. Sebagai bangsa kita tidak punya kehormatan sama sekali, karena apa? karena bangsa ini telah menyingkirkan Bung Karno, seorang arsitek besar bagi sebuah kehormatan dan kemerdekaan bangsa Indonesia. Kini saatnya, kita menoleh kembali pada Bung Karno, Sang tonggak sejarah bangsa Indonesia.

Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan

“Mereka tidak tahu kecuali bahwa saya hanya dipukul. Saya tidak cerita kepada suami. Saya sangat takut dan merasa sangat malu. Saya tidak berani ambil risiko dan tidak berani membayangkan kalau suami saya tahu. Kemungkinan besar, dia tidak bisa menerima bahwa saya sudah ditiduri oleh orang lain, walaupun itu diperkosa … Malu, kalau terjadi perceraian dan masyarakat nanti akan cari tahu [apa alasannya].” (Perempuan Aceh, korban penyiksaan seksual pada masa konflik bersenjata, 2003)

Komnas Perempuan bekerja dengan berpedoman pada prinsip bahwa hak korban mencakup hak atas kebenaran, keadilan dan pemulihan. Ketiga hak ini saling kait mengkait, tidak dapat dipisah-pisahkan dan merupakan satu kesinambungan yang menghubungkan pemulihan diri yang personal dengan pemulihan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang lebih luas. Dari pengalaman menerapkan prinsip tersebut selama ini terlihat peran lembaga dan komunitas agama merupakan kunci dalam memberikan bantuan praktis jangka pendek bagi perempuan korban maupun dalam upaya jangka panjang untuk membangun kesadaran baru di tengah masyarakat agar kekerasan yang dialami para korban tidak terulang lagi.

Salah satu upaya dalam rangka membangun kesadaran bersama ini, Komnas Perempuan bekerja sama dengan kelompok-kelompok agama (Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, Kristen, dan Katolik) untuk menyuarakan respon positif mereka terhadap gerakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Kerja sama dengan komunitas agama ini dibangun melalui para teolognya dengan berproses bersama melalui sebuah dialog yang konstruktif dan berkesinambungan antara perempuan korban dan komunitas serta pemuka agamanya, demi kebenaran, keadilan dan pemulihan.

Buku dengan judul Memecah Kebisuan: Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan (Respon NU) ini mengangkat beberapa kasus kekerasan, yakni poligami yang merupakan celah atau peluang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kondisi perempuan kepala keluarga di lingkungannya, serta perempuan-perempuan yang memilih profesi sebagai buruh migran (TKW) untuk melanjutkan kehidupan yang lebih baik bagi diri dan keluarganya. Tiga fenomena ini cukup menjelaskan tindakan kekerasan dialami perempuan di tengah-tengah masyarakat yang patriarkal dan pemahaman yang “keliru” terhadap ajaran agama telah meminggirkan, mendiskriminasi bahkan menihilkan keberadaan perempuan.

Sebagai sebuah sikap, buku ini menawarkan cara pandang baru dari perspektif agama (Islam) dalam memandang perempuan korban kekerasan. Ia meminta rumusan yang lebih adil bagi perempuan tentang kodrat, penjaga kesucian (diri, keluarga, dan komunitas), perempuan sebagai anak, istri, dan kepala keluarga, bahkan tentang perempuan sebagai warga negara dan juga pejabat publik. Sejarah nasib perempuan sebelum dan sesudah Islam diajarkan kepada masyarakat juga dipaparkan dalam buku ini: bagaimana perempuan dikubur hidup-hidup ketika lahir karena dianggap aib dalam keluarga hingga diperjualbelikan, dipaksa kawin dan melacur. Agama Islam lahir pada saat itu untuk meninggikan nilai-nilai kemanusiaan. Perempuan diangkat harga dirinya karena demikianlah manusia seharusnya.

Beberapa rekomendasi buku ini ditujukan kepada tokoh agama, organisasi perempuan Islam, dan pemerintah. Tokoh agama diharapkan mempertimbangkan perspektif perempuan dalam memahami ajaran agama, memertimbangkan kondisi spesifik yang dialami oleh perempuan korban kekerasan, serta mempertimbangkan suara perempuan korban agar tidak salah mengambil keputusan yang terbaik bagi korban. Misalnya perempuan korban perkosaan tidak semestinya dipaksa untuk menikah dengan pelaku.

Komnas Perempuan