Dalam Acara Pelantikan DPD PPMI Tanta

Pelantikan Dewan Pengurus Daerah Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia di Tanta, Mesir.

Ma'radh Cafe

Meeting Manajemen Haita CafRest.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Gallery Burgal Van Jogja

Haita CafeRestoran bersama Burgal Van Jogja.

Cafe Istad

Cafe Istad Tanta with Friends.

Lelaki Setengah Abad


Lelaki itu menangis. Tangisannya menceritakan duka. Tangis kerinduan. Tangis kemarahan. Tangis penyesalan. Tangis-tangis itu bergumul, meloncat-loncat, menendang-nendang, dan selalu menghujatnya dalam malam-malam yang tak mampu ia lalui tanpanya. Ia tak pernah bisa menghapus duka itu. Entah sampai kapan duka-duka itu pergi. Entah. Entah sampai kapan akan hadir air kesejukan yang mampu meredam semua itu. Semua tangisan-tangisan itu. Semua duka itu. Semua kerinduan itu. Semua penyesalan itu. Dan semua kemarahan itu.

Malam itu bermandikan cahaya rembulan. Hanya saja, ya, hanya saja rembulan itu tak mampu, atau memang ditakdirkan takkan pernah mampu, menghapus lara lelaki setengah abad itu. Ia membuka lemari tua. Ia mengambil kain panjang. Ia menciuminya. Ia hirup sedalam-dalamnya seakan ingin memasukkan semua aromanya ke dalam batinnya yang tak bisa lagi melupakannya. “Istriku, aroma tubuhmu masih seperti dulu,” bisiknya pada angin malam yang menerobos perlahan melalui celah-celah jendela dari kayu itu. Ia menenggelamkan wajah keriputnya dalam kain itu. Lama selama-lamanya.

“Seandainya dulu aku bisa memilih, aku mati bersamamu saja, Bu. Atau kita hidup bersama. Tidak seperti ini. Atau tidak sebaliknya karena sama-sama menghadirkan duka.” Ia hempaskan tubuh tuanya pada tikar pandan. Tatapannya kosong. Matanya masih berurai air mata. “Kematianmu sungguh mengenaskan, Bu.” Bibirnya gemetar seakan tak sanggup merangkai kalimat untuk mengenang kematian istrinya. “Aku tak tahu atas nama apa kematianmu itu, Bu.” Ia terus hanyut. Ia tenggelam dalam pusara malam yang terus bergelayut.

Ia tak sanggup memutar memori ingatan masa kelam legam itu. Ia melotot sekuat tenaga untuk mencegah hadirnya cerita kebejatan terhadap istrinya itu. Tapi seperti yang sudah-sudah, ingatan itu selalu hadir menyeruak. Menenggelamkannya sampai ia megap-megap. “Sebelum perang itu merenggutmu, kau bilang semua keadaan akan baik-baik saja. ‘Tak usah terlalu dipikirkan, Sayang. Ini hanya bentrok kecil saja,’ ucapmu sambil tersenyum. Sambil mengusap perutmu yang membuncit. Panggilan sayangmu itu selalu menghadirkan ketenangan dalam batinku.”

Lelaki setengah abad itu tersenyum. Kecut. Matanya masih berurai air mata. Ia ingat akan penjarah menjarah. Darah bersimbah. Rumah dibakar berkobar. Dan kebencian tanpa alasan terus melahap manusia-manusia tak berdosa. Ia hanya bisa terkapar menggelepar-gelepar dalam rangkaian duka nestapa berkepanjangan.

“Tapi aku tak mempercayaimu, Bu. Bagaimana aku percaya, Bu, sedangkan di luar rumah kita sudah banyak pembakaran rumah. Pembunuhan terus berlangsung. Senyum sinisku terbaca olehmu, ‘jangan memusingkan diri dengan ketakutan-ketakutan, Yang,’ ucapmu sambil menatapku dengan tatapan genit. Dan kau terus menyibukkan diri di dapur.”

Lelaki setengah abad itu kembali membuka lemari. Ia menimang-nimang baju kecil. Ia ciumi baju yang belum sempat dipakaikan pada anaknya itu.

“Kita sudah persiapkan penyambutan untuk anak pertama kita, Bu. Ibu yakin anak kita perempuan. Ibu membeli baju-baju anak perempuan. Nama pun dipersiapkan, ‘Maryam, Yang, namanya. Biar dia nanti jadi perempuan kuat. Tak cengeng,’ ungkapmu penuh semangat. Dan aku tersenyum iri. Melihat tingkahmu itu aku tak mau kalah, Bu. Aku juga mempersiapkan nama laki-laki untuk anak kita. Karena aku yakin anak kita laki-laki. Tapi, ibu tak pernah tahu semua itu karena aku menyiapkannya secara sembunyi-sembunyi. Karena aku pikir ibu lebih berhak memilihkan apa saja untuk anak kita. Nama yang kupersiapkan Isa, Bu. Aku pun punya alasan kuat sepertimu: biar mampu menebarkan kasih sayang.”

Lelaki setengah abad itu memeluk baju anaknya. Ia membungkus diri dalam kain istrinya.

“Maafkan aku, Bu, telah meninggalkanmu ke pasar waktu itu.” Ia menggigil seperti orang kedinginan. Padahal malam itu tak begitu dingin. Angin hanya semilir perlahan berhembus mengelus kain pembungkusnya.

“Aku berangkat dulu, Cinta. ’Ke pasarnya jangan lama-lama ya, Yang,’ pesanmu waktu itu. Saat kutoleh kau begitu cantik hari itu. Aura keibuanmu sempat menahan langkahku. Kau tersenyum nakal dan masuk ke dalam meninggalkanku yang sedang silau menyaksikan kecantikanmu. Ternyata hari itu adalah hari terakhirku melihatmu. Perut besarmu terus membayangiku ke pasar. Ada gundah gelisah sebenarnya. Tapi, ketenanganmu membuatku mampu menabahkan diri.

“Di tengah jalan kudengar kabar perang antar suku itu terus mengamuk tanpa ampun. Mereka membunuh sekenanya. Sudah tak pandang bulu lagi. Anak-anak mereka potong lehernya. Perempuan hamil mereka keluarkan anaknya. Sang ibu ditebas lehernya. Mereka sama-sama tak punya perasaan. Mereka hanya bisa berlomba membunuh sebanyak-banyaknya. Mereka ingin memperlihatkan kekuatan suku mereka masing-masing. Mereka lupa kalau sedang diadu domba oleh orang-orang yang merasa berhak untuk memimpin.

“Mendengar kabar itu kumatikan motorku, Bu. Aku tak mau hal itu menimpamu. Saat aku hanyut dalam bimbang, ada teriakan. ‘Lari! Lari! Semua rumah sudah dibakar.’ Kulihat Pak Rizqi sibuk membawa kedua anak dan istrinya. Ia tak membawa harta bendanya. Padahal ia punya banyak sapi. Ia pengusaha sukses. Ada Pak Budi yang rumahnya di depan rumah kita. Ada Ibu Sarmi masih sempet menjunjung jualan gado-gadonya. Aku tak sempat menanyakan keadaanmu pada Pak Budi, Bu. Aku langsung putar haluan menerobos orang-orang yang sedang berlarian ke sana kemari. Mereka mencari selamat sendiri-sendiri, Bu. Mereka terlalu dicekam ketakutan. Termasuk aku, Bu.”

Tangisan lelaki setengah abad itu makin menjadi. Ia meraung-raung dalam balutan kain panjang istrinya. Ia mengintip. Tangannya menggenggam baju anaknya. Matanya menyiratkan ketakutan. Matanya menyeramkan. Mata itu seakan tak memiliki bulatan hitam. Dan mata itu seperti sumber mata air.

“Setelah aku sampai di depan perumahan kita, aku bingung, Bu. Aku seperti lupa karena bangunan-bangunan itu telah rata dengan tanah. Semua sudah bersih dijilat api. Tapi, kulihat pohon itu. Iya, Bu, pohon itu tidak terbakar karena agak jauh dari rumah kita. Dan disitulah aku menemukanmu, Bu. Kuturunkan engkau dengan hati-hati. Lehermu membiru bekas lilitan kain panjangmu. Dan di tanganmu kutemukan baju anak kita. Hanya itu, Bu, hanya itu yang sempet kubawa. Dan sepeda motorku. Semuanya tak berbekas.

“Aku menungguimu sampai sore. Kupandangi terus wajahmu. Kau tersenyum, Bu, seakan kau bahagia mati seperti itu. Tak ada dendam tersirat di wajahmu. Aku terus menungguimu, Bu. Aku berharap mereka datang lagi dan menggantungku sepertimu. Biar aku juga merasakan apa yang kau rasakan, Bu. Tapi, malang. Sungguh malang nasibku, Bu. Aku tak dibiarkan menemuimu dan menemanimu. Mereka tak datang lagi sampai petang.”

“Mereka tak tahu diri.” Lelaki setengah abad itu meloncat dari balutan kain panjang. Ia mendekati jendela. Ia acungkan tangannya ke atas sambil memegang baju anaknya. “Sekarang provokator itu kembali lagi setelah aman bersembunyi di luar negeri. Cuih! Dasar tak punya malu. Oh Tuhan…” ia menunduk lemas. Ia genggam erat-erat baju anaknya.

“Iya, Bu, provokator itu sekarng datang lagi. Tak tahu apa yang akan ia ambil lagi setelah ia meminum darah manusia-manusia tak berdosa.” Wajahnya menyemburatkan kemarahan. Wajahnya merah padam. Matanya kembali menyala-nyala penuh cahaya kebencian.

“Namanya si Has, Bu. Dia yang mengobarkan kebencian antar suku. Benar katamu masalahnya hanya kecil. Tapi, dia itu orangnya yang telah membuat masalah menjadi besar. Dia menghasud pemuda-pemuda pengangguran untuk mericuh keadaan. Pemuda-pemuda itu hanya dibayar seharga minuman keras. Dan orang-orang awam itu mudah sekali terpancing. Ketua-ketua suku tak bisa mengontrol masyarakatnya. Atau ketua-ketua suku itu juga mendapat upah dari tragedi antar suku itu, Bu?”

Ia menatap langit. Seakan ingin menceritakan fakta yang tak sempat dilirik dan dicatat oleh penghuni langit.

“Kamu juga gak tahu, kan, Bu, kalau orang-orang suku memakai senjata api sewaktu perang itu? Dari mana senjata api itu mereka peroleh, Bu? Pasti ada yang menjualnya, kan? Apakah pihak keamanan hanya mencari muka saja dengan pura-pura mengamankan? Padahal mereka yang menjual senjata itu? Atau si Has itu bekerja sama dengan pihak asing, ya, Bu?”

Giginya bergeretak. Tangannya menyobek baju anaknya.

“Jelas, Bu! Jelas sudah. Si Has itu memang bekerja sama dengan pihak asing. Kalau tidak, bagaimana mungkin ia mendapat tempat tinggal di sana. Atau karena polisi tidak mengejarnya? Kenapa polisi tidak mengejarnya? Apakah polisi sudah dibayar dulu oleh si Has itu?”

Ia seperti bercengkerama dengan langit kelam legam.
***

Lelaki setengah abad itu melangkahkan kakinya menuju pasar. Mentari pagi menyorot wajah tuanya. Garis-garis keriput di wajahnya semakin jelas terbaca. Sesampainya di pasar ia mengambil koran. Matanya terbelalak saat membaca headline koran itu. Bulatan hitamnya seakan lenyap memasuki kelopaknya. Tangannya meremas-remas tanpa kontrol. “Dasar penjahat. Sekarang dia akan menjadi gubernur, Bu.”

Cerpen M. Khozin