Lelaki itu menangis. Tangisannya
menceritakan duka. Tangis kerinduan. Tangis kemarahan. Tangis penyesalan.
Tangis-tangis itu bergumul, meloncat-loncat, menendang-nendang, dan selalu
menghujatnya dalam malam-malam yang tak mampu ia lalui tanpanya. Ia tak pernah
bisa menghapus duka itu. Entah sampai kapan duka-duka itu pergi. Entah. Entah
sampai kapan akan hadir air kesejukan yang mampu meredam semua itu. Semua
tangisan-tangisan itu. Semua duka itu. Semua kerinduan itu. Semua penyesalan
itu. Dan semua kemarahan itu.
Malam itu bermandikan cahaya
rembulan. Hanya saja, ya, hanya saja rembulan itu tak mampu, atau memang
ditakdirkan takkan pernah mampu, menghapus lara lelaki setengah abad itu. Ia
membuka lemari tua. Ia mengambil kain panjang. Ia menciuminya. Ia hirup
sedalam-dalamnya seakan ingin memasukkan semua aromanya ke dalam batinnya yang
tak bisa lagi melupakannya. “Istriku, aroma tubuhmu masih seperti dulu,”
bisiknya pada angin malam yang menerobos perlahan melalui celah-celah jendela
dari kayu itu. Ia menenggelamkan wajah keriputnya dalam kain itu. Lama
selama-lamanya.
“Seandainya dulu aku bisa memilih,
aku mati bersamamu saja, Bu. Atau kita hidup bersama. Tidak seperti ini. Atau
tidak sebaliknya karena sama-sama menghadirkan duka.” Ia hempaskan tubuh tuanya
pada tikar pandan. Tatapannya kosong. Matanya masih berurai air mata. “Kematianmu
sungguh mengenaskan, Bu.” Bibirnya gemetar seakan tak sanggup merangkai kalimat
untuk mengenang kematian istrinya. “Aku tak tahu atas nama apa kematianmu itu,
Bu.” Ia terus hanyut. Ia tenggelam dalam pusara malam yang terus bergelayut.
Ia tak sanggup memutar memori
ingatan masa kelam legam itu. Ia melotot sekuat tenaga untuk mencegah hadirnya
cerita kebejatan terhadap istrinya itu. Tapi seperti yang sudah-sudah, ingatan
itu selalu hadir menyeruak. Menenggelamkannya sampai ia megap-megap. “Sebelum
perang itu merenggutmu, kau bilang semua keadaan akan baik-baik saja. ‘Tak usah
terlalu dipikirkan, Sayang. Ini hanya bentrok kecil saja,’ ucapmu sambil
tersenyum. Sambil mengusap perutmu yang membuncit. Panggilan sayangmu itu
selalu menghadirkan ketenangan dalam batinku.”
Lelaki setengah abad itu
tersenyum. Kecut. Matanya masih berurai air mata. Ia ingat akan penjarah
menjarah. Darah bersimbah. Rumah dibakar berkobar. Dan kebencian tanpa alasan
terus melahap manusia-manusia tak berdosa. Ia hanya bisa terkapar menggelepar-gelepar
dalam rangkaian duka nestapa berkepanjangan.
“Tapi aku tak mempercayaimu, Bu.
Bagaimana aku percaya, Bu, sedangkan di luar rumah kita sudah banyak pembakaran
rumah. Pembunuhan terus berlangsung. Senyum sinisku terbaca olehmu, ‘jangan
memusingkan diri dengan ketakutan-ketakutan, Yang,’ ucapmu sambil menatapku
dengan tatapan genit. Dan kau terus menyibukkan diri di dapur.”
Lelaki setengah abad itu kembali
membuka lemari. Ia menimang-nimang baju kecil. Ia ciumi baju yang belum sempat
dipakaikan pada anaknya itu.
“Kita sudah persiapkan
penyambutan untuk anak pertama kita, Bu. Ibu yakin anak kita perempuan. Ibu
membeli baju-baju anak perempuan. Nama pun dipersiapkan, ‘Maryam, Yang, namanya.
Biar dia nanti jadi perempuan kuat. Tak cengeng,’ ungkapmu penuh semangat. Dan
aku tersenyum iri. Melihat tingkahmu itu aku tak mau kalah, Bu. Aku juga
mempersiapkan nama laki-laki untuk anak kita. Karena aku yakin anak kita
laki-laki. Tapi, ibu tak pernah tahu semua itu karena aku menyiapkannya secara
sembunyi-sembunyi. Karena aku pikir ibu lebih berhak memilihkan apa saja untuk
anak kita. Nama yang kupersiapkan Isa, Bu. Aku pun punya alasan kuat sepertimu:
biar mampu menebarkan kasih sayang.”
Lelaki setengah abad itu memeluk
baju anaknya. Ia membungkus diri dalam kain istrinya.
“Maafkan aku, Bu, telah
meninggalkanmu ke pasar waktu itu.” Ia menggigil seperti orang kedinginan.
Padahal malam itu tak begitu dingin. Angin hanya semilir perlahan berhembus
mengelus kain pembungkusnya.
“Aku berangkat dulu, Cinta. ’Ke
pasarnya jangan lama-lama ya, Yang,’ pesanmu waktu itu. Saat kutoleh kau begitu
cantik hari itu. Aura keibuanmu sempat menahan langkahku. Kau tersenyum nakal dan
masuk ke dalam meninggalkanku yang sedang silau menyaksikan kecantikanmu.
Ternyata hari itu adalah hari terakhirku melihatmu. Perut besarmu terus
membayangiku ke pasar. Ada
gundah gelisah sebenarnya. Tapi, ketenanganmu membuatku mampu menabahkan diri.
“Di tengah jalan kudengar kabar
perang antar suku itu terus mengamuk tanpa ampun. Mereka membunuh sekenanya.
Sudah tak pandang bulu lagi. Anak-anak mereka potong lehernya. Perempuan hamil
mereka keluarkan anaknya. Sang ibu ditebas lehernya. Mereka sama-sama tak punya
perasaan. Mereka hanya bisa berlomba membunuh sebanyak-banyaknya. Mereka ingin
memperlihatkan kekuatan suku mereka masing-masing. Mereka lupa kalau sedang
diadu domba oleh orang-orang yang merasa berhak untuk memimpin.
“Mendengar kabar itu kumatikan motorku,
Bu. Aku tak mau hal itu menimpamu. Saat aku hanyut dalam bimbang, ada teriakan.
‘Lari! Lari! Semua rumah sudah dibakar.’ Kulihat Pak Rizqi sibuk membawa kedua
anak dan istrinya. Ia tak membawa harta bendanya. Padahal ia punya banyak sapi.
Ia pengusaha sukses. Ada Pak Budi yang rumahnya di depan rumah kita. Ada Ibu
Sarmi masih sempet menjunjung jualan gado-gadonya. Aku tak sempat menanyakan
keadaanmu pada Pak Budi, Bu. Aku langsung putar haluan menerobos orang-orang
yang sedang berlarian ke sana
kemari. Mereka mencari selamat sendiri-sendiri, Bu. Mereka terlalu dicekam
ketakutan. Termasuk aku, Bu.”
Tangisan lelaki setengah abad itu
makin menjadi. Ia meraung-raung dalam balutan kain panjang istrinya. Ia mengintip.
Tangannya menggenggam baju anaknya. Matanya menyiratkan ketakutan. Matanya
menyeramkan. Mata itu seakan tak memiliki bulatan hitam. Dan mata itu seperti
sumber mata air.
“Setelah aku sampai di depan
perumahan kita, aku bingung, Bu. Aku seperti lupa karena bangunan-bangunan itu
telah rata dengan tanah. Semua sudah bersih dijilat api. Tapi, kulihat pohon
itu. Iya, Bu, pohon itu tidak terbakar karena agak jauh dari rumah kita. Dan
disitulah aku menemukanmu, Bu. Kuturunkan engkau dengan hati-hati. Lehermu membiru
bekas lilitan kain panjangmu. Dan di tanganmu kutemukan baju anak kita. Hanya
itu, Bu, hanya itu yang sempet kubawa. Dan sepeda motorku. Semuanya tak
berbekas.
“Aku menungguimu sampai sore.
Kupandangi terus wajahmu. Kau tersenyum, Bu, seakan kau bahagia mati seperti
itu. Tak ada dendam tersirat di wajahmu. Aku terus menungguimu, Bu. Aku
berharap mereka datang lagi dan menggantungku sepertimu. Biar aku juga
merasakan apa yang kau rasakan, Bu. Tapi, malang.
Sungguh malang
nasibku, Bu. Aku tak dibiarkan menemuimu dan menemanimu. Mereka tak datang lagi
sampai petang.”
“Mereka tak tahu diri.” Lelaki
setengah abad itu meloncat dari balutan kain panjang. Ia mendekati jendela. Ia
acungkan tangannya ke atas sambil memegang baju anaknya. “Sekarang provokator
itu kembali lagi setelah aman bersembunyi di luar negeri. Cuih! Dasar tak punya
malu. Oh Tuhan…” ia menunduk lemas. Ia genggam erat-erat baju anaknya.
“Iya, Bu, provokator itu sekarng
datang lagi. Tak tahu apa yang akan ia ambil lagi setelah ia meminum darah
manusia-manusia tak berdosa.” Wajahnya menyemburatkan kemarahan. Wajahnya merah
padam. Matanya kembali menyala-nyala penuh cahaya kebencian.
“Namanya si Has, Bu. Dia yang
mengobarkan kebencian antar suku. Benar katamu masalahnya hanya kecil. Tapi, dia
itu orangnya yang telah membuat masalah menjadi besar. Dia menghasud
pemuda-pemuda pengangguran untuk mericuh keadaan. Pemuda-pemuda itu hanya
dibayar seharga minuman keras. Dan orang-orang awam itu mudah sekali
terpancing. Ketua-ketua suku tak bisa mengontrol masyarakatnya. Atau
ketua-ketua suku itu juga mendapat upah dari tragedi antar suku itu, Bu?”
Ia menatap langit. Seakan ingin
menceritakan fakta yang tak sempat dilirik dan dicatat oleh penghuni langit.
“Kamu juga gak tahu, kan, Bu, kalau orang-orang
suku memakai senjata api sewaktu perang itu? Dari mana senjata api itu mereka
peroleh, Bu? Pasti ada yang menjualnya, kan?
Apakah pihak keamanan hanya mencari muka saja dengan pura-pura mengamankan?
Padahal mereka yang menjual senjata itu? Atau si Has itu bekerja sama dengan
pihak asing, ya, Bu?”
Giginya bergeretak. Tangannya
menyobek baju anaknya.
“Jelas, Bu! Jelas sudah. Si Has
itu memang bekerja sama dengan pihak asing. Kalau tidak, bagaimana mungkin ia
mendapat tempat tinggal di sana.
Atau karena polisi tidak mengejarnya? Kenapa polisi tidak mengejarnya? Apakah
polisi sudah dibayar dulu oleh si Has itu?”
Ia seperti bercengkerama dengan
langit kelam legam.
***
Lelaki setengah abad itu
melangkahkan kakinya menuju pasar. Mentari pagi menyorot wajah tuanya.
Garis-garis keriput di wajahnya semakin jelas terbaca. Sesampainya di pasar ia
mengambil koran. Matanya terbelalak saat membaca headline koran itu.
Bulatan hitamnya seakan lenyap memasuki kelopaknya. Tangannya meremas-remas
tanpa kontrol. “Dasar penjahat. Sekarang dia akan menjadi gubernur, Bu.”
Cerpen M. Khozin