Bung Karno Sebagai Seorang Arsitek

Tahun 1933, sekitar bulan Februari, selepas Bung Karno keluar dari rumah tahanan, Ir. Rooseno mau mendirikan Biro Oktroi bersama Bung Karno. Rooseno kuat dalam hitung-hitungan struktur sementara Bung Karno jago dalam menggambar.

Banyak gedung yang dibuat oleh biro oktroi ini, termasuk sebuah rumah di Jalan Pangkur (dekat tempat tinggal Bung Karno) dan di Jalan Suniaradja, Bandung. Sebelum bersama Rooseno, Bung Karno mendirikan biro arsitek bersama Ir. Anwari, akan tetapi waktu semasa dengan Anwari, Bung Karno lebih sibuk dalam kancah politik. Walaupun begitu, beberapa rumah bisa dibangun bersama Anwari sekitar tahun 1926-1929, yang berkantor di rumah sewa Bung Karno, di Regentweg (Jalan Dewi Sartika).

Di Regentweg Bung Karno merancang beberapa rumah kecil, di saat itu dia mengeluh "aku ini berpikiran besar, tapi yang aku rancang rumah-rumah kecil", namun biarpun begitu rumah buatan Bung Karno banyak yang berdiri kokoh sampai sekarang, ini membuktikan kekuatan dan daya tahan rumah buatan Bung Karno sangat ampuh.

Kalo Anwari sedang menghitung, Bung Karno biasanya duduk-duduk di teras untuk menemui tamu-tamu yang banyak datang. Dan kalau sedak tidak ada uang, sementara Inggit masih di luar untuk berdagang jamu dan batik, Bung Karno kerap memanggil wartawan yang lewat. "Mau kemana?" teriak Bung Karno. Sang wartawan menoleh "cari berita". Bung Karno berteriak lagi "sudah sini saya buatkan tulisan" tak lama kemudian tulisan itu terbuat di meja teras Bung Karno, dan wartawan itu memberi honor langsung di tempat. Uang itu lantas dibelikan peuyeum untuk disuguhkan kepada para tamu Bung Karno. Sepanjang hidupnya, Bung karno tidak pernah tertarik pada uang, ia selalu tertarik pada "hubungan antar manusia".

Sebagai arsitek, Bung Karno dididik oleh Prof.Wolff Schoemaker, yang pernah terkesan akan daya imajinasi Bung Karno. Bangunan depan hotel Preanger yang sedang direnovasi, Bung Karno yang disuruh menyelesaikannya. Padahal saat itu Bung Karno belum lulus kuliah dan baru saja magang. Karena tidak punya uang, Bung Karno tidak seperti mahasiswa lain yang melanjutkan pendidikan arsitektur ke Delft tapi menyelesaikannya dengan magang.

Di kemudian hari, Bung Karno mengembangkan kemampuan arsiteknya dalam membentuk karakter bangsa. Bung Karno kurang menyukai detail-detail yang rumit dan kecil, tetapi sangat menyukai kepada yang besar, perkasa, dan bersifat monumental. Monumen Nasional adalah contoh jelas prinsip Bung Karno tersebut, menara yang relatif polos, namun tinggi menjulang di satu openspace raksasa kawasan Gambir telah menjadi landmark bagi Jakarta, sejajar dengan landmark negara lain seperti Statue of Liberty, Eiffel, Sidney Opera House, dll.

Bung Karno menyukai karya yang bersifat abadi, dan murni kreasi bangsa sendiri, bahkan kadang dekat dengan misteri alam dan misteri sosial. Bung Karno yang anti feodalisme senang mengamati alam, "berdialog" dengan alam dan berpikiran tanpa batas. Mungkin karena hal inilah, muncul ucapanya yang terkenal "Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit".

Bung Karno menyukai wayang, yang kadangkala mempengaruhi pribadi dan filosofinya. Sebagai anak desa yang tumbuh dalam budaya Jawa, ia tak terpengaruh untuk menjadi "rural-agraris". Pribadi yang halus, sopan namun tegas bertindak. Ia juga sangat menghargai harga barang seni yang diinginkannya, sehingga tidak mau membeli dengan harga murah, hanya karena ia seorang yang memiliki kedudukan tinggi.

Dibalik itu semua Bung Karno mengajarkan pada bangsa Indonesia untuk membangun dan melatih imajinasi. Bangsa yang memiliki daya imajinasi, maka bangsa itu menjadi besar. Namun sayang banyak orang tidak mengerti, termasuk sederetan mahasiswa-mahasiswa di tahun 1966, yang berteriak: kita membutuhkan nasi, bukan monumen. Bung Karno bilang, bahwa bangsa besar monumen adalah kehormatan, adalah martabat. Maka beliau bilang "monumen itu seperti celana" lalu mahasiswa-mahasiswa itu bilang "ada orang pikun, monumen dibilang celana".

Nyata-nyata, apa yang dipikirkan Bung Karno kita merasakannya sekarang. Sebagai bangsa kita tidak punya kehormatan sama sekali, karena apa? karena bangsa ini telah menyingkirkan Bung Karno, seorang arsitek besar bagi sebuah kehormatan dan kemerdekaan bangsa Indonesia. Kini saatnya, kita menoleh kembali pada Bung Karno, Sang tonggak sejarah bangsa Indonesia.