Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan

“Mereka tidak tahu kecuali bahwa saya hanya dipukul. Saya tidak cerita kepada suami. Saya sangat takut dan merasa sangat malu. Saya tidak berani ambil risiko dan tidak berani membayangkan kalau suami saya tahu. Kemungkinan besar, dia tidak bisa menerima bahwa saya sudah ditiduri oleh orang lain, walaupun itu diperkosa … Malu, kalau terjadi perceraian dan masyarakat nanti akan cari tahu [apa alasannya].” (Perempuan Aceh, korban penyiksaan seksual pada masa konflik bersenjata, 2003)

Komnas Perempuan bekerja dengan berpedoman pada prinsip bahwa hak korban mencakup hak atas kebenaran, keadilan dan pemulihan. Ketiga hak ini saling kait mengkait, tidak dapat dipisah-pisahkan dan merupakan satu kesinambungan yang menghubungkan pemulihan diri yang personal dengan pemulihan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang lebih luas. Dari pengalaman menerapkan prinsip tersebut selama ini terlihat peran lembaga dan komunitas agama merupakan kunci dalam memberikan bantuan praktis jangka pendek bagi perempuan korban maupun dalam upaya jangka panjang untuk membangun kesadaran baru di tengah masyarakat agar kekerasan yang dialami para korban tidak terulang lagi.

Salah satu upaya dalam rangka membangun kesadaran bersama ini, Komnas Perempuan bekerja sama dengan kelompok-kelompok agama (Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, Kristen, dan Katolik) untuk menyuarakan respon positif mereka terhadap gerakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Kerja sama dengan komunitas agama ini dibangun melalui para teolognya dengan berproses bersama melalui sebuah dialog yang konstruktif dan berkesinambungan antara perempuan korban dan komunitas serta pemuka agamanya, demi kebenaran, keadilan dan pemulihan.

Buku dengan judul Memecah Kebisuan: Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan (Respon NU) ini mengangkat beberapa kasus kekerasan, yakni poligami yang merupakan celah atau peluang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kondisi perempuan kepala keluarga di lingkungannya, serta perempuan-perempuan yang memilih profesi sebagai buruh migran (TKW) untuk melanjutkan kehidupan yang lebih baik bagi diri dan keluarganya. Tiga fenomena ini cukup menjelaskan tindakan kekerasan dialami perempuan di tengah-tengah masyarakat yang patriarkal dan pemahaman yang “keliru” terhadap ajaran agama telah meminggirkan, mendiskriminasi bahkan menihilkan keberadaan perempuan.

Sebagai sebuah sikap, buku ini menawarkan cara pandang baru dari perspektif agama (Islam) dalam memandang perempuan korban kekerasan. Ia meminta rumusan yang lebih adil bagi perempuan tentang kodrat, penjaga kesucian (diri, keluarga, dan komunitas), perempuan sebagai anak, istri, dan kepala keluarga, bahkan tentang perempuan sebagai warga negara dan juga pejabat publik. Sejarah nasib perempuan sebelum dan sesudah Islam diajarkan kepada masyarakat juga dipaparkan dalam buku ini: bagaimana perempuan dikubur hidup-hidup ketika lahir karena dianggap aib dalam keluarga hingga diperjualbelikan, dipaksa kawin dan melacur. Agama Islam lahir pada saat itu untuk meninggikan nilai-nilai kemanusiaan. Perempuan diangkat harga dirinya karena demikianlah manusia seharusnya.

Beberapa rekomendasi buku ini ditujukan kepada tokoh agama, organisasi perempuan Islam, dan pemerintah. Tokoh agama diharapkan mempertimbangkan perspektif perempuan dalam memahami ajaran agama, memertimbangkan kondisi spesifik yang dialami oleh perempuan korban kekerasan, serta mempertimbangkan suara perempuan korban agar tidak salah mengambil keputusan yang terbaik bagi korban. Misalnya perempuan korban perkosaan tidak semestinya dipaksa untuk menikah dengan pelaku.

Komnas Perempuan